Medan - (LDberita) Aku cuma orang biasa-biasa saja dan berkawan dengan orang biasa dan lahir juga dari orang biasa. Sebagai orang biasa, aku tak pernah berfikir luar biasa. Aku hanya mampu berfikir biasa-biasa saja. Sebuah ungkapan yang mungkin begitu rumit tentangku dan tanpa maksud apa-apa, orang biasa seperti aku hanya ingin menegaskan bahwa orang biasa selamanya akan biasa dalam memandang apapun.
Sebagai orang biasa aku juga tidak biasa membuka berbagai literatur yang membuat otakku berfikir jumpalitan, kemudian menulis dengan bahasa rumit, kemudian membuat otak orang jungkir balik karena sulit memahami apa yang aku utarakan lewat tulisan yang luar biasa. Tapi ada hal yang selalu dilakukan oleh orang biasa sepertiku, yaitu merekam hal-hal yang menurutku biasa padahal luar biasa.
Aku lahir hingga remaja di sebuah Kabupaten di Provinsi Aceh. Tanah yang kupijak ini adalah milik orang-orang besar yang dikenal seantero nusantara. Aku mengenal Hamzah Fansury sang penyair dan filsuf yang melahirkan orang besar pula seperti Syamsudin Al-Sumatrani. Juga Syekh Abdul Rauf dengan murid-muridnya Tuanku Syekh Burhanuddin di Pariaman dan Syekh Abdul Muhyi di Pamijahan. Di Tanahku pula lahir karya besar Syekh Abdul Rauf As Singkili atau lebih dikenal sebagai Syiah Kuala.dan fenomenal di masanya Turjuman Al Mustafid
Selain nama-nama tersebut aku mengenal nama ‘Sukarno’ yang awalnya aku kenal sebagai orang yang harus dijauhi karena buah fikirannya tidak sejalan dengan pemerintah waktu itu. Ya, di tahun 90 an di Aceh progam deSukarnoisasi begitu massif, sampai-sampai emakku harus sekolah sore hari sambil membawaku untuk mendengarkan ceramah-ceramah dari mentor yang luar biasa membandingkan situasi di jaman Sukarno dan Jaman Suharto. Seperti biasa emakku dan emak-emak lain mangut-mangut entah faham atau tidak. Maksudku, aku tak tahu apakah emakku faham atau tidak bahwa mereka sedang mengikuti Progam Suhartoisasi: apa-apa Suharto, semua pokoknya Suharto. Bagi orang biasa seperti saya, sampai-sampai kopipun harus merek Suharto, pokoknya Suharto waktu itu seperti Dewa.
Pada tahun aku mulai mengenal beberapa buku, Suharto yang seperti Dewa yang dengan sekehendak hatinya mengeruk Sumber Daya Alam Indonesia tumbang oleh luapan emosi rakyat. Saat itu aku sudah merantau ke tanah Jawa. Dari sinilah aku mulai memiliki cara pandang berbeda .
Awalnya aku main di rumah Pak Dhe, namanya Saidi. Rumahnya cukup sederhana. Cuma yang membuatku heran, kenapa foto Sukarno ada di tiap ruangan? Bukan foto mahal, memang, dan aku taksir waktu itu harganya paling Rp. 1500; dan pemajangannya hanya dengan cara dipaku dengan paku kasar. Aku maklum, Pak De Saidi ini cuma orang biasa, mungkin dia tidak bisa membeli figura berukir Naga.
Awalnya aku heran, kenapa di daerah ini banyak masyarakat yang memajang foto Sukarno. Rumah Pak Dhe Saidi ini bukanlah rumah pertama yang aku kunjungi, dan setiap rumah yang aku kunjungi memiliki Foto Sukarno. Saat itu aku mencoba bertanya pada beliau kenapa banyak foto Sukarno, jawabannya begitu aneh: "Karena Kita Marhaen". Jawaban Pak Dhe kala itu malah semakin menambah daftar pertanyaan lagi di kepalaku: Apa itu "Marhaen" dan kenapa ada Marhaen di Negeri ini ?
Ingatanku beranjak memasuki fase di mana aku sudah mulai mengenal buku, dan aku sudah bertemu Sukarno dan Daud Beureuh dalam beberapa halaman. Saat negeri ini sedang mempertahankan diri agar tidak dijajah lagi oleh kaum imperialisme Eropa, Sukarno begitu berharga di mata orang Aceh sehingga kehendaknya dipenuhi oleh Rakyat Aceh, termasuk kehendaknya memiliki Kapal Terbang (begitulah aku biasa menyebut pesawat). Kehendak itu tercapai di Aceh, dan dengan bangga Sukarno menyebut Aceh sebagai Daerah Modal.
Ya lagi-lagi Sukarno. Dimana aku melangkah Sukarno terus membututi ruang berfikirku, mulai fotonya hingga cerita tetang perjalanan hidupnya selalu membuat orang biasa sepertiku merasa tertarik. Ketertarikanku bertambah ketika pada tahun 2000 an bersama Almarhum Ayahku, kami menyempatkan diri berziarah ke Makam Sukarno di Blitar. Inilah diantara momen terindah dalam hidupku, ketika aku menghadap ke Makam Bung Karno bersama Ayahku.
Akhirnya bukan pikiranku yang dibuntuti dengan cerita Sukarno, tapi aku yang mengejarnya. Bagiku Sukarnolah yang hidup dalam pikiranku selama ini; dan sekarang, aku yang mesti hidup dengan jiwa Sukarno. Maka berbagai literatur tentang dirinya mestilah kulahap. Dari situ sedikit demi sedikit aku mulai belajar dialektika ala Sukarno. Sebuah nilai dan alur berfikir mesti kita hidupkan bagi kaum tertindas di negeri ini untuk bangkit dan menemukan momentum untuk menjadi Bangsa yang Merdeka Berdaulat dan berdiri di kaki sendiri dan menentukan Nasibnya sendiri.
Sedikit demi sedikit aku mengenal Marhaen yang pada awalnya hanya dari sedikit yang diceritakan oleh Pak Dhe-ku sebagai Petani. Marhaen bukanlah sekedar petani tapi simbol dari ketertindasan kaum mustad'afin oleh kaum mustakbirin yang semena-mena. Hubungan kontradiksi yang berlansung sejak lama dan bahkan masih ada hingga sekarang. Kaum Mustad'afin atau ploretariat hanya dijadikan sebagai alat bagi para Mustakbirin atau pemilik modal untuk meraup keuntungan.
Mustad'afin sesungguhnya adalah sekumpulan manusia yang berserak dan bercerai sehingga tidak memiliki kekuatan kongkrit. Meski jumlahnya banyak akan tetapi tidak memiliki mental untuk melawan penindasan. Jumlah yang banyak hanyak menjadi barisan manusia yang sedang menumbalkan diri untuk membuncitkan para mustakbirin, seperti Bung Karno bilang "Bebek jalannya berbondong-bondong sedangkan elang terbang sendiri".
Sukarno hanya orang biasa tapi pemikirannya dalam mengubah mental kaum tertindas merupakan pemikiran luar biasa. Pemikiran itu melandasi bangkitnya semangat Kaum Marhaen dari Sabang sampai Merauke untuk bangkit melawan kepada sistem yang menindas. Pada akhirnya Rakyat negeri ini sadar bahwa melawan sistem yang menindas dibutuhkan persatuan, bukan perseteruan. Mulai fikiran, ucapan serta tindakan semua harus menyatu. Sukarno memahami betul bahwa butuh alat pemersatu untuk menyatukan kaum tertindas di negeri ini. Maka lahirlah Pancasila sebagai alat pemersatu sesama kaum tertindas di Nusantara.
Pancasila bukan sekedar aturan dasar norma dalam sistem tata hukum Indonesia, Pancasila milik Sukarno adalah cara pandang bangsa ini untuk bersatu dan menyatukan diri dalam setiap tindakan apapun. Dengan Pancasila, setiap rumah ibadah baik itu Mesjid, Gereja, Vihara, Kuil dll, menyatukan suara dalam Doa "Merdeka". Dengan Pancasila, setiap orang mulai dari Orang Aceh, Batak, Minangkabau, Jawa, Dayak, Bugis dan Papua mengucapkan lafaz yang sama "Indonesia"; dan dengan Pancasila juga setiap sekat-sekat baik sekat agama, suku, ras dan golongan terhapus. Tidak ada lagi batasan bagi Kaum Marhaen untuk berjuang, semua menuju titik satu yaitu "Indonesia merdeka"
Pancasila adalah puncak dari nilai filosofi dalam hidup yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Terdiri dari rangkaian kata-kata biasa, tapi mampu penjadi penerang luar biasa bagi Bangsa ini untuk keluar dari fase sejarah kelam. Pancasila merupakan tumpangan bagi Rakyat Indonesia layaknya Perahu Nuh yang meyelamatkan Kaumnya dari amukan banjir bandang yang luar biasa, dan Pancasila juga telah menyelamatkan Bangsa ini dari kekaraman peradaban.
Saat ini banyak orang yang mengaku memiliki kemampuan luar biasa mulai mengutak-atik Pancasila dan meremehkan buah fikir Bung Karno tersebut dengan menagatasnamakan doktrin absolut seraya menawarkan beberapa ideologi impor yang susungguhnya tidak sejalan dengan budaya bangsa Indonesia. Aku heran, kenapa fikiran mereka tidak bisa menembus kedalaman Makna Pancasila dan cenderung menilai Pancasila dari sudut pandang kepicikan dan kedengkian semata.
Hampir setiap hari kaum picik ini berdiri dan bersuara lantang baik secara langsung maupun lewat tulisan menggugat kembali Dasar Negara ini dan menawarkan dagangan ideologi basi yang sama sekali belum pernah terbukti membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, dan bahkan selalu membawa kehancuran di mana-mana. Kini, di negeri yang sudah mapan dan damai ini mereka coba menawarkan idelogi tersebut ? Ah.....Tak laku disini Bung.
Negeri ini sesungguhnya tidak butuh manusia luar biasa, apalagi yang luar biasa bengak dan luar biasa picik. Negeri ini sudah biasa dengan orang-orang yang biasa hidup dengan Pancasila, biasa saling menghargai antar sesama pemeluk agama, biasa mencintai meski beda ras dan suku, biasa saling mendoakan meski rumah ibadahnya berbeda, dan biasa bermasyarakat tanpa memandang warna kulit dan bahasa sehari-hari. Dan negeri ini sama sekali tidak biasa hidup dengan cara pandang pemikiran orang-orang yang kau impor, karena Kami bangsa Indonesia sudah biasa dan membiasakan diri hidup dengan cara pandang Bung Karno."Merdeka. (js)
Headline
- Headline
Sumut
Foto : Oleh : Nezar Silabuhan (Kepala Biro Rekrutmen BSPN Daerah Sumut Dan Wakil Ketua Repdem Sumut)
Orang Biasa, Biasanya Tak Biasa Memandang Bung Karno
- by Administrator
- 22 Juni 2020
- 1108 Dibaca
Berita Terkait
Berita Terkini
Berita Populer
-
- 04 Desember 2024
-
- 06 Desember 2024
-
- 04 Desember 2024
-
- 06 Desember 2024
-
- 04 Desember 2024