LDberita.id - Batubara, Penahanan satu unit becak bermotor milik Jalaluddin, warga Desa Titi Merah, Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batu Bara, tanpa disertai surat penyitaan resmi, kini menjadi sorotan serius di kalangan praktisi hukum. Pasalnya, tindakan penyidik Polres Batu Bara tersebut dinilai telah melanggar ketentuan hukum acara pidana dan berpotensi mencederai prinsip keadilan.
Kasus ini bermula dari laporan polisi yang dibuat oleh Safriza Hanum pada 23 Agustus 2025, dan telah digelar dalam gelar perkara pada 23 September 2025. Namun hingga kini, pihak penyidik belum menentukan status hukum terhadap barang bukti berupa becak yang masih berada di Mapolres Batu Bara.
Kuasa hukum Jalaluddin, Rudi Harmoko, SH, menyayangkan langkah penyidik Polres Batu Bara yang menahan barang bukti tanpa prosedur hukum yang sah. Ia menegaskan bahwa setiap tindakan penyitaan harus didasarkan pada Surat Perintah Penyitaan (Pasal 38 ayat 1 KUHAP) dan harus mendapat izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 39 ayat 1 KUHAP).
“Penahanan becak tanpa surat penyitaan yang sah merupakan pelanggaran terhadap hukum acara pidana. Dalam waktu 1x24 jam sejak penyitaan dilakukan, seharusnya penyidik membuat berita acara penyitaan dan meminta izin kepada pengadilan. Jika hal itu tidak dilakukan, maka tindakan tersebut tidak sah menurut hukum,” tegas Rudi Harmoko, SH. Selasa (07/10/2025).
Lebih lanjut, ia menilai langkah penyidik yang menaikkan status laporan ke tahap penyidikan tanpa bukti kuat menunjukkan indikasi abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 421 KUHP, yang menyebutkan bahwa “Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Selain menyoroti pelanggaran prosedur, Rudi Harmoko juga mendesak penyidik Polres Batu Bara untuk menahan Safriza Hanum dan Andi Topan, yang diduga telah menguasai dan menggunakan becak milik Jalaluddin tanpa hak dan tanpa dasar hukum yang sah.
“Tindakan mereka sudah memenuhi unsur penguasaan barang milik orang lain secara melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yakni mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,” jelasnya.
Rudi menegaskan, bila tindakan tersebut terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan dan niat memiliki, maka harus ada langkah hukum tegas berupa penahanan terhadap terlapor, sebagaimana berlaku untuk setiap warga negara tanpa pengecualian.
Pasal 365 ayat (1) KUHP lama mengatur pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang dengan tujuan mempermudah pencurian atau memudahkan pelaku melarikan diri saat tertangkap tangan, atau agar barang curian tetap di tangan pelaku. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama sembilan tahun.
“Kami menuntut agar dilakukan gelar perkara khusus di tingkat Kabag Wassidik Polda Sumut untuk memastikan penanganan perkara ini berjalan objektif dan sesuai prosedur. Bila dalam gelar nanti terbukti laporan tidak memenuhi unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan segera mengembalikan becak milik klien kami,” tegasnya lagi.
Rudi juga mendesak Kabid Propam Polda Sumut untuk memeriksa anggota penyidik dan peserta gelar perkara di Polres Batu Bara yang diduga telah salah memberikan pendapat hukum. Menurutnya, kesalahan prosedur dan pelanggaran asas hukum dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
“Kami meminta Propam turun untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik dan disiplin penyidik. Proses hukum harus transparan dan adil. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” tegas Rudi.
Kasus ini, menurut Rudi, bukan hanya soal sebuah becak, melainkan menyangkut martabat dan keadilan warga kecil yang harus dilindungi oleh hukum. Ia menekankan pentingnya asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP) dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
“Kami berharap Kapolda Sumut turun langsung mengawasi penanganan perkara ini demi menjaga marwah kepolisian dan kepercayaan publik terhadap Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat,” pungkasnya. (tim)
.jpg)





