LDberita.id - Batubara, Kuasa hukum Jalaluddin, Rudi Harmoko, SH, menilai penanganan laporan dugaan perampasan becak bermotor dan laporan pencurian buah sawit yang melibatkan kliennya di wilayah hukum Polres Batu Bara berjalan lamban dan tidak profesional. Ia menyoroti ketidaksinkronan penanganan hukum antara Polres Batu Bara dan Polda Sumatera Utara, yang berpotensi melanggar asas “Equality Before The Law” atau persamaan di hadapan hukum. ujarnya. Senin (13/10/2025),
Kasus ini bermula dari peristiwa perampasan becak bermotor milik Jalaluddin oleh oknum di wilayah hukum Polsek Lima Puluh, Polres Batu Bara. Selain itu, Jalaluddin juga dilaporkan oleh Safriza Hanum atas tuduhan pencurian buah kelapa sawit, meskipun objek lahan sawit tersebut telah sah dimenangkan oleh Jalaluddin melalui lelang resmi KPKNL Kisaran, sebagaimana tertuang dalam Risalah Lelang yang berkekuatan hukum tetap.
Namun, pada 23 September 2025, berdasarkan hasil gelar perkara di Polres Batu Bara, laporan Safriza Hanum justru naik ke tahap penyidikan, sementara bukti legalitas kepemilikan yang diajukan Jalaluddin tidak dipertimbangkan secara proporsional oleh penyidik.
Menurut Rudi Harmoko, SH, langkah tersebut menunjukkan kelalaian dalam penerapan hukum acara pidana, khususnya dalam menilai legal standing (kedudukan hukum) pelapor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP dan Pasal 108 ayat (1) KUHAP, yang menyebut bahwa hanya pihak yang dirugikan secara langsung yang berhak membuat laporan pidana.
“Pelapor dalam kasus ini belum tentu memiliki kedudukan hukum yang sah, sebab objek lahan yang dipersoalkan adalah milik klien kami berdasarkan risalah lelang negara. Artinya, laporan pencurian yang dibuat menjadi tidak berdasar secara hukum,” jelas Rudi.
Setelah menemui kejanggalan di tingkat Polres, Rudi Harmoko bersama kliennya mengajukan aduan masyarakat (Dumas) ke Bag Wassidik Ditreskrimum Polda Sumatera Utara serta Bid Propam Polda Sumut pada 3 Oktober 2025. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan signifikan ataupun gelar perkara khusus yang dijanjikan.
Rudi menyebut bahwa ketidakjelasan tindak lanjut Dumas ini menimbulkan kesan adanya ketimpangan atau tebang pilih penanganan perkara di internal kepolisian.
“Kami sudah mengikuti prosedur dengan membuat Dumas sesuai arahan penyidik. Namun hingga kini, laporan tersebut belum mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya. Sementara laporan informasi lain yang baru masuk justru langsung ditindaklanjuti oleh Ditreskrimsus,” ujar Rudi
Di sisi lain, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumut justru lebih cepat merespons laporan informasi terkait keabsahan lelang KPKNL Kisaran yang dimenangkan Jalaluddin dan rekannya, Burhanuddin.
Hal itu dibuktikan dengan diterbitkannya sejumlah dokumen resmi:
Laporan Informasi Nomor R/LI/328/X/2025/Ditreskrimsus, tanggal 2 Oktober 2025.
Surat Perintah Penyelidikan Nomor SP.Lidik/379/X/2025/Ditreskrimsus, tanggal 3 Oktober 2025.
Surat Perintah Tugas Nomor SP.Gas/1397/X/2025/Ditreskrimsus, tanggal 3 Oktober 2025.
Berdasarkan surat-surat tersebut, Ditreskrimsus telah memanggil Jalaluddin untuk hadir pada 17 Oktober 2025 dan Burhanuddin pada 20 Oktober 2025 untuk memberikan keterangan di Unit II/Fismondev. Pemanggilan itu ditandatangani langsung oleh Plt. Direktur Reserse Kriminal Khusus, AKBP Danu Pamungkas Totok, SH, SIK pada 8 Oktober 2025, kedepan.
Menanggapi hal ini, Rudi Harmoko menegaskan bahwa langkah cepat Ditreskrimsus patut diapresiasi, namun ketimpangan antar unit penyidikan di lingkungan Polda Sumut menjadi persoalan serius yang perlu diawasi langsung oleh Bapak Kapolda Sumut.
“Satu sisi Ditreskrimsus bekerja cepat dan profesional, di sisi lain Bag Wassidik Ditreskrimum seolah diam. Ini menimbulkan pertanyaan besar terkait keseragaman penegakan hukum di tubuh Polda Sumut,” tegasnya.
Kuasa hukum Jalaluddin secara tegas meminta Kapolda Sumatera Utara untuk turun langsung mengawasi penanganan perkara ini. Menurutnya, prinsip objektivitas dan keadilan hukum sebagaimana diatur dalam:
Pasal 3 huruf f Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
“Asas equality before the law bukan hanya jargon. Ia adalah prinsip dasar negara hukum. Jika laporan masyarakat diabaikan, sementara laporan lain diproses kilat, ini jelas bentuk ketidakadilan dan dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri,” tegas Rudi.
Rudi Harmoko mengingatkan bahwa lambannya penanganan Dumas bisa berdampak pada pelanggaran terhadap asas kepastian hukum (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945) serta mencederai semangat reformasi Polri yang menekankan profesionalitas dan transparansi.
Ia juga menegaskan bahwa Polri sebagai pelaksana penegakan hukum harus berpegang teguh pada Pasal 13 dan 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan kewajiban Polri untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum secara adil dan tidak diskriminatif." pungkasnya. (tim)
.jpg)





