Batubara

Rakyat Diminta Belajar: Tapi Dimana Mereka Harus Tidur, Beginikah Bentuk Keadilan

post-img
Foto : Kondisi Rumah Sulasno Yusnidar seorang ibu yang mempunyai anak 5, tinggal di Desa Guntung, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, yang nyaris roboh. Poto/ dok PPD

LDberita.id - Batubara, Di tengah riuh tepuk tangan menyambut program "Sekolah Rakyat" yang digaungkan dari podium-podium megah, di sebuah sudut sunyi Desa Guntung, Batu Bara, Sumatera seorang ibu yang tidak bertepuk tangan.

Namanya Sulasno Yusnidar. Ia tidak sedang sibuk mendengar pidato tentang pendidikan. Ia sedang sibuk menadah air hujan dari atap rumahnya yang berlubang.

Di Dusun 2 Nelayan, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, Kabupaten Batu Bara rumah Ibu Sulasno berdiri lebih tepatnya, bertahan dari roboh. Dindingnya dari papan lapuk, lantainya papan yang lembab, dan atapnya lebih jujur dari pada kebijakan publik dan bocor di mana - mana.

Disanalah ia mengasuh lima anaknya tanpa listrik stabil, tanpa kasur layak, tanpa jendela keadilan sosial, tapi tunggu. Kata pemerintah, anak-anak Ibu Sulasno bisa sekolah di Sekolah Rakyat.

Sekolah Rakyat. Dua kata yang belakangan ini lebih sering menjadi bahan konferensi pers dari pada solusi konkret. Menteri Sosial Saifullah Yusuf bahkan rela terbang ke Sumatera Utara demi meninjau program ini di Tebingtinggi, 11 April 2025 lalu.

Sebuah langkah yang katanya monumental, meski tak sempat menjejak tanah di Dusun Nelayan, di mana rumah nyaris runtuh berdiri seperti simbol kebijakan yang hanya turun separuh jalan.

“Kami mendukung Sekolah Rakyat. Tapi lebih dulu rakyatnya diberi rumah yang layak,” kata Ramli, dengan nada yang tak bisa lagi dibedakan antara prihatin dan kesedihan. Minggu (13/04/2025)

Sebab bagaimana mungkin anak-anak belajar dengan baik jika malamnya harus tidur menggigil karena hujan bocor, bagaimana mungkin mereka bisa menyerap ilmu jika paginya diawali dengan menyeka lantai yang lembab, bukan membuka buku.

Rumah Ibu Sulasno Yusnidar adalah potret telanjang dari realitas yang sering dibungkus rapi dalam laporan tahunan. Ia membuktikan bahwa ada jarak panjang bukan hanya geografis, tapi juga emosional dan moral antara meja kerja pengambil kebijakan dan lantai papan tempat rakyat miskin berdiri.

Ironisnya, pembangunan di negeri ini sering kali bersifat kosmetik, kita terlalu sibuk membangun panggung untuk tampil hebat di mata dunia, tapi lupa memperbaiki fondasi sederhana: rumah rakyat.

Bukan berarti pendidikan tidak penting, tapi rumah yang layak adalah prasyarat paling dasar dari semua mimpi. Tanpa itu, Sekolah Rakyat hanya akan jadi ironi, sekolah yang terlalu tinggi untuk dijangkau oleh mereka yang hidup terlalu dekat dengan tanah.

Jika negara benar-benar hadir, maka kehadirannya seharusnya tidak hanya dalam bentuk program, tetapi dalam tindakan yang membumi. Sebab sebelum mencerdaskan kehidupan bangsa, alangkah bijaknya jika kita terlebih dahulu memastikan bahwa rakyat punya tempat tinggal yang pantas untuk sekadar hidup.

Dan sebelum anak-anak bicara tentang masa depan, bukankah mereka berhak merasakan kenyamanan hari ini." pintanya. (Boy)

Berita Terkait