Medan - (LDberita) dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak seperti dikiranya” (Bung Karno dalam Pidato di hadapan PBB pada tahun 1960 dengan judul To Build the World A New – Membangu Dunia Kembali)
Pendahuluan
Tiga bulan berselang sejak awal pertama sekali negara ini dinyatakan sebagai negara yang terkena penyebaran virus Covid-19 kira-kira di awal Maret lalu, dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dan menangani laju penyebaran virus, akhirnya diputuskan sebuah kebijakan untuk berdamai dan mencoba hidup berdampingan dengan virus Covid 19.
New Normal, begitu kebijakan tersebut dinyatakan. Belakangan ini, entah mengapa, istilah tersebut diganti menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru.
Walaupun berganti istilah, tetap saja inti pokoknya adalah hidup berdampingan dengan virus sembari menerapkan protokol-protokol pencegahannya.
Terlepas dari pro kontra yang terjadi ditengah-tengah masyarakat terhadap kredibilitas lembaga WHO, harus diakui bahwa seluruh protokol yang dari sejak awal diterapkan oleh pemerintah hingga saat ini, kesemuanya tersebut merupakan bagian dari protokol yang diterbitkan oleh WHO dan menjadi pedoman bagi negara-negara untuk menerapkannya.
Pemerintah tidak dapat memungkiri bahwa kebijakan terkait physical distancing dengan segala aturan turunannya, PSBB (semi lockdown) dan stimulus ekonomi merupakan bagian dari protokol yang diterapkan oleh WHO. Pejabat negara ini seakan-akan meyakini bahwa seluruh kebijakan yang diterapkan oleh WHO dapat mencegah mata rantai penularan virus Covid-19 serta memastikan bahwa dengan pelaksanaan secara ketat maka diprediksi pada awal Juni kurva penyebaran virus akan melandai. Nyatanya apa yang terjadi?
Seluruh protokol yang diterbitkan oleh WHO tersebut dan diakomodasi oleh seluruh negara di belahan dunia ternyata tidak menghentikan mata rantai penyebaran dan melandaikan kurva penyebaran, malah yang terjadi seluruh negara mengalami kerusakan ekonomi akibat kebijakan lockdown atau semi lockdown.
Para ekonom memprediksi, ekonomi negara baru akan dapat pulih pada tahun 2022 dengan catatan vaksin virus dapat ditemukan paling lambat pada awal 2021 sehingga kegiatan dapat berjalan normal tanpa ada pembatasan-pembatasan ala new normal.
Disinilah awal letak kekonyolan yang terjadi. Bila jauh-jauh hari pemerintah berdasarkan kajian-kajian yang dilakukan secara holistik dengan memperhatikan aspek ekonomi, sistem politik, letak geografi serta kondisi sosial budaya masyarakat, maka stimulus ekonomi yang sebesar 405 trilun lebih itu tidak akan terbuang sia-sia.
Sejak dinyatakan pada awal Maret yang lalu tentang dua warga Depok terindikasi positif Covid-19, setiap hari media mainstream mengisi ruang publik membangun opini dan kecemasan sehingga psikologi masyarakat akhirnya terganggu. Harus diakui, media menjadi alat propaganda yang efektif bagi perkembangan virus serta membangun narasi-narasi horor mengenai pengucilan keluarga pasien dan lain sebagainya. Merupakan konsekuensi logis dari keterbukaan informasi yang kelewat batas serta sistem demokrasi dan politik yang liberal dan tidak adanya tanggung jawab media selaras dengan tanggung jawab negara.
Demokrasi Kita
Penulis menyakini bahwa tidak ada yang akan membantah bahwa sistem politik yang berlangsung di republik saat ini merupakan sistem liberal setali dengan sistem demokrasi, sebuah sistem yang jauh dari cita-cita konstitusi dan founding father. Tidak ada korelasi langsung antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, masing-masing pihak menempatkan ego akibat keterpilihan secara langsung oleh masyarakat walau ambiguitasnya adalah tidak ada pertanggungjawaban secara langsung terhadap masyarakat.
Dengan kondisi sistem yang begitu liberal serta memperhatikan kondisi sosio geografi, jauh-jauh hari sudah dapat diprediksi akan sangat sulit untuk memutus mata rantai penyebaran virus karena masing-masing daerah bersandar dengan kebijakan daerahnya namun di satu sisi dalam hal anggaran menetek kepada pemerintah pusat. Belum lagi ketidakadilan dalam hal pendistribusian bantuan sosial yang dilakukan oleh pemerintah, dimana seluruh daerah baik yang terkena dampak atau tidak tetap mendapatkan bantuan, hal ini mengakibatkan pejabat daerah yang daerahnya tidak terdampak meningkat popularitasnya sedangkan disisi lain pejabat daerah yang wilayahnya terdampak menjadi bulan-bulanan pihak oposisi. Kondisi ini menjadi hal yang lumrah dalam demokrasi yang mengandalkan pencitraan.
Selain itu, bagi kelompok kapitalis birokrat kondisi pandemik ini menguntungkan bagi mereka karena dapat melakukan bancakan terhadap anggaran apalagi dengan adanya perlindungan melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU bahwa kebijakan yang ditempuh dalam kaitan penanganan Covid-19 tidak dapat digugat baik secara pidana maupun perdata. Dengan pemberlakukan UU tersebut, bagi segelintir pihak menginginkan agar pandemik ini dapat terus berlangsung sehingga pundi-pundinya dapat bertambah seiring dengan itu dapat menaikkan citra pribadinya melalui kegiatan-kegiatan sosial untuk kepentingan pilkada 2020.
Mari kita bandingkan dengan cara penanganan RRT maupun Vietnam dalam penanganan penyebaran virus Covid-19. Keunggulan yang dimiliki kedua negara tersebut terletak dalam sistem politiknya, sehingga arahan jelas dan pelaksanaannya juga jelas tanpa ada penafsiran yang lain oleh pemerintah daerah.
Apa yang dialami saat ini oleh Indonesia sama persis dengan yang dialami oleh negara-negara lain yang mayoritas mengadopsi sistem politik yang liberal. Kembali ke kita, apakah kita masih tetap mengimplementasikan sistem politik yang liberal ini atau kita kembali kepada cita-cita sistem politik sebagaimana yang diutarakan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI yang saat ini lebih kita kenal sebagai hari lahir Pancasila.
New Normal
Mengacu kepada tatanan kehidupan baru yang tertuang dalam protokol new normal, sebagai kelompok masyarakat yang sedikit banyak kita memahami tentang cara berpikir radikal, kita akan menyanggah bahwa konsep tersebut bukanlah sebuah kehidupan yang normal.
Lazimnya sebuah kehidupan yang bersandar dengan pengggunaan new maka seharusnya konsep yang dituangkan adalah tatanan kehidupan baru yang lebih baik, bukan malah sebaliknya, sebuah tatanan kehidupan yang semakin menonjolkan individualisme, tertutup dari lingkungan serta berjarak dari sesama.
Tentu saja konsep new normal bila ditarik ke dasar epitemologisnya akan bertolak belakang dengan konsep gotong royong yang merupakan warisan dari leluhur kita. Penulis memahami bahwa bangsa ini harus segera keluar dari keterpurukan ekonomi akibat tidak berputarnya roda ekonomi selama tiga bulan lebih akibat protokol-protokol yang disarankan oleh WHO. Bila faktor utamanya adalah kondisi ekonomi, maka seharusnya tidak perlu ada kebijakan mengenai new normal, melainkan yang perlu dilakukan adalah pencabutan terhadap Keputusan Presiden mengenai bencana non alam serta kebijakan-kebijakan turunan lainnya yang mengakibatkan fokus anggaran lebih banyak dikucurkan untuk memberikan stimulus ekonomi, sementara pelaku UMKM yang jumlahnya jutaan sebagai penopang ekonomi yang tahan banting dalam setiap situasi tidak mendapatkan perhatian karena stimulus ekonomi lebih banyak dikucurkan terhadap pelaku-pelaku usaha yang lebih banyak menggantungkan nasibnya terhadap kebijakan negara. Inilah pelaku rente atau Bung Karno sering menyebutnya sebagai komprador.
Bila pejabat republik ini telah menyadari bahwa kegagalan untuk memutus mata rantai penyebaran virus akibat lemahnya koordinasi antar sektoral serta perbedaan cara pandang antara pemerintah pusat dengan dengan akibat sistem politik yang ada, serta banyaknya maling anggaran yang saling bertemu antara birokrat dengan pengusaha, seharusnya pemerintah mulai mewacanakan dengan konsep new demokrasi, new politik, new nasionalisme yang keseluruhannya kembali kepada cita-cita berdirinya republik ini.
Penutup
Jika kita telah menyadari bahwa kegagalan dalam pencegahan penyebaran virus Covid-19 terutama terletak dari sistem politik dan demokrasi kita, maka sebagai warga negara yang sekaligus merupakan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berazaskan Pancasila 1 Juni, sudah sewajarnya kita menjadi barisan terdepan untuk menyuarakan kembalinya sistem politik dan demokrasi kita kepada rel-nya yaitu sistem politik dan demokrasi yang terpimpin.
Seorang kader sejati, anak-anak ideologis Bung Karno tidak mengenal sistem politik dan ekonomi liberal dalam pemilu elektoral yang pada akhirnya menciptakan pemimpin yang lahir dari pencitraan. Anak-anak ideologis Bung Karno pada hakekatnya adalah prajurit-prajurit ideologis partai yang siap untuk berjuang mengembalikan sistem politik dan demokrasi yang lebih berkeadilan, berdaulat serta berdikari. (js)
.jpg)





