LDberita.id - Batubara, Di tengah gegap gempita perayaan Hari Bhayangkara ke-79, berbagai baliho bertebaran di sudut-sudut kota, memamerkan jargon "Polri Presisi, Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat". Masyarakat diimbau bangga pada Polri, merasa aman di bawah naungan sang Bhayangkara.
Namun, di balik kemeriahan itu, tangis seorang ibu pecah tanpa bisa dibendung. Santi, warga Kecamatan Tanjung Tiram, masih menggenggam harap yang perlahan berubah menjadi luka, anak perempuannya, sebut saja bunga (13), menjadi korban kekerasan seksual yang dilaporkan sejak 24 Februari 2025 lalu.
Terduga pelaku berinisial MY hingga kini masih bebas berkeliaran, seolah tak tersentuh hukum. Bunga pun dipaksa memikul trauma berat setiap langkahnya di jalan raya dihantui bayangan pelaku. "Anak saya harus menunduk setiap kali lewat, takut ketemu pelaku yang masih bebas, katanya polisi melindungi masyarakat, tapi di mana buktinya" ungkap Santi, Selasa (1/7/2025),
Padahal, aturan hukum sudah sangat jelas. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan seksual. Pasal 76D dan Pasal 81 ayat (1) bahkan mengancam pelaku dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
Lebih miris lagi, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13, menegaskan tugas pokok Polri, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Namun, di Batubara, jargon tersebut bak pepesan kosong, dilapangan, masyarakat justru menyaksikan fenomena ironis, razia knalpot bising dan penertiban kendaraan kerap dilakukan dengan penuh semangat, bahkan tak jarang diiringi sesi foto dan publikasi masif di media sosial sementara kasus kekerasan seksual terhadap anak yang jelas-jelas melukai masa depan bangsa malah berjalan lambat bagai siput kelelahan.
Laporan Polisi Nomor: LP/B/60/II/2025/SPKT/RES.BATUBARA/POLDA SUMUT yang dilayangkan hampir lima bulan lalu, kini nyaris menjadi dokumen mati. Masyarakat mulai mempertanyakan, apakah hukum di negeri ini hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas," Apakah seorang anak harus menunggu sampai masa depannya benar-benar hancur sebelum hukum bergerak.
Di tengah perayaan Hari Bhayangkara ke-79, seharusnya Polri diingatkan kembali pada jati dirinya, bukan sekadar seragam gagah, bukan sekadar upacara megah, dan bukan sekadar baliho berbiaya besar, rakyat menanti bukti nyata perlindungan yang benar-benar dirasakan, bukan hanya dijanjikan.
Kapolres Batu Bara, AKBP Nelson Doly H.H. Nainggolan, SH, MH, kini diuji apakah akan membiarkan kepercayaan publik semakin tergerus, atau berani membuktikan bahwa Polri benar-benar presisi, responsif, dan berdiri di pihak korban." tutup Santi. (tim)
 
                                    .jpg)

.jpeg) 
                        
 
                                                         
                                                         
                                                        


 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                