LDberita.id - Batubara, Di tengah realitas sosial yang kerap dibungkus kemasan pembangunan semu, suara seorang anak kampung yang kini menjadi profesor di tanah rantau menyeruak bak petir di siang bolong.
Prof. Muhammad Nur Dea, Guru Besar Universitas Diponegoro, bukan sekadar balek ke kampung halaman untuk nostalgia, tetapi untuk menyampaikan hasil penelitiannya yang mungkin bermanfaat untuk kampung kelahirannya.
Ia meneliai bahwa pemerintah daerah Kabupaten Batu Bara tampaknya kehilangan arah dalam mengurus hal yang paling mendasar nasib petani.
Dalam kegiatan Sarasehan Tokoh dan Cendekiawan Batu Bara bertajuk “Balik Kampung Bangun Kampung”, yang digelar di Hotel Grand Malaka. Minggu (13/4/2025).
Prof. Nur Dea dengan lugas menumpahkan kegelisahan batinnya. “Saya merasa berhutang pada tanah kelahiran. Potensi hasil laut dan pisang kita sangat besar, tapi semua itu belum menjadi kekuatan ekonomi.
Saya siap bawa teknologi, saya siap ajak ahli-ahli dari Batu Bara. Tapi ini tak akan berhasil tanpa keberpihakan pemerintah, ujarnya.
Pernyataan itu bukan sekadar ucapan, melainkan semacam manifestasi akademik dari kepedulian sosial yang selama ini minim ditunjukkan oleh pemerintah daerah.
Sains dan teknologi tidak akan berdaya di hadapan sistem birokrasi yang beku dan lebih sibuk dengan seremonial, petani Batu Bara bukan tidak punya hasil, mereka hanya tak punya jalan dan ironisnya, jalan itu tidak dibuka oleh mereka yang seharusnya membukanya.
Dalam perspektif akademik, ini adalah bentuk kegagalan struktural dalam governance. Ketika pemerintah gagal menciptakan ekosistem yang memungkinkan petani berproduksi, berinovasi, dan berdaya saing, maka yang muncul bukan kemajuan, tapi ketimpangan.
Batu Bara memiliki pisang unggulan, hasil laut melimpah, dan lahan subur, namun tanpa akses teknologi, tanpa kebijakan hilirisasi, semua itu hanyalah potensi tanpa aktualisasi.
Prof. Ilmi Abdullah, ketua Pusat Kecemerlangan Masyarakat Batu Bara, menambahkan bahwa rindu kampung harus diwujudkan dalam aksi nyata. Namun, bagaimana bisa aksi nyata lahir jika pemerintah lebih sibuk membangun opini ketimbang membangun irigasi.
Ketua Panitia, H. Bakhtiar Mogaza, mengatakan bahwa membangun kampung tak bisa sendiri, harus sinergi, tapi sinergi tak akan pernah terjadi jika satu pihak hanya ingin didengar, bukan mendengar.
Ketika profesor membawa konsep ekspor dan teknologi pasca panen, pemerintah justru masih terpaku pada pendekatan proyek jangka pendek yang kadang lebih menyasar pencitraan ketimbang dampak.
Dalam ilmu kebijakan publik, ada yang disebut dengan policy myopia rabun jauh dalam merancang kebijakan." Pemerintah daerah seolah hanya melihat satu - dua bulan ke depan, cukup sampai masa anggaran habis.
Mereka tak melihat lima tahun ke depan, atau dua dekade setelahnya, saat petani benar-benar habis dan kampung hanya tinggal nama.
Maka dari itu, bahwa ilmu pengetahuan yang tak bersenyawa dengan kebijakan hanya akan menjadi makalah di perpustakaan.
Dan sebaliknya, kebijakan yang tak bertumpu pada ilmu dan realitas sosial hanya akan menjadi proyek gagal yang dibungkus spanduk warna-warni.
Jika pemerintah Batu Bara sungguh mencintai rakyatnya, terutama petani, maka saatnya membuka ruang dialog, bukan sekadar mendengar karena terpaksa, tapi mendengar karena sadar bahwa pembangunan bukan tentang bangunan, tapi tentang manusia." tutupnya. (End)
.jpg)





