LDberita.id - Jakarta, Jaksa Agung Republik Indonesia, melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, menyetujui tiga permohonan penghentian penuntutan berdasarkan mekanisme Restorative Justice (RJ) dalam sebuah ekspose virtual yang digelar pada. Senin (17/2/2025).
Keputusan ini menegaskan komitmen Kejaksaan dalam menghadirkan keadilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan keadaan korban serta pelaku.
Salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme RJ adalah kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan oleh Fahrizal Rohfi Zikari dari Kejaksaan Negeri Cilegon.
Fahrizal ditetapkan sebagai tersangka setelah mengambil sepeda motor milik Abuzar Al Gifari di depan kontrakan korban di Desa Kertasana, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, pada 30 November 2024.
Kasus ini bermula saat Fahrizal datang ke rumah korban dengan maksud meminjam uang sebesar Rp200.000 untuk keperluan sehari-hari. Namun, karena korban tidak dapat memberikan pinjaman, Fahrizal pergi meninggalkan tempat tersebut.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul 10.20 WIB, tersangka kembali melewati kontrakan korban dan melihat situasi sepi. Dengan niat mencuri, ia langsung mengambil sepeda motor Honda Beat warna putih-merah yang terparkir di depan kontrakan. Ia mendorong motor tersebut dengan kakinya sambil duduk di atasnya dan membawa kabur kendaraan tersebut.
Mengetahui kejadian ini, Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon Diana Wahyu Widiyanti, S.H., M.H., Kasi Pidum Ronny Bona Tua Hutagalung, S.H., M.H., dan Jaksa Fasilitator Alwan Rizqi Ramadhan, S.H. menginisiasi penyelesaian perkara melalui mekanisme Restorative Justice.
Dalam proses mediasi, tersangka mengakui perbuatannya, menyesali tindakannya, dan meminta maaf kepada korban. Korban pun menerima permintaan maaf tersebut dengan syarat tersangka membayar ganti rugi sebesar Rp9.000.000.
Setelah berkas perkara dikaji lebih lanjut, Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Dr. Siswanto, S.H., M.H. menyetujui penghentian penuntutan dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum.
Selain kasus pencurian ini, JAM-Pidum juga menyetujui dua perkara lainnya untuk diselesaikan melalui mekanisme Restorative Justice, yaitu:
Kasus pengeroyokan dan penganiayaan yang melibatkan I Dewa Gde Marhadi alias Dewa Kalu dan Pande Putu Suarbawa alias Putu Liong dari Kejaksaan Negeri Gianyar.
Mereka disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus pencemaran nama baik oleh Andi Bachiramsyah alias AM bin Andi Bakhtiar dari Kejaksaan Negeri Bintan, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (1) KUHP.
JAM-Pidum menegaskan bahwa penghentian penuntutan berdasarkan Restorative Justice merupakan perwujudan kepastian hukum yang lebih berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar penghukuman.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri yang menangani perkara-perkara tersebut diminta untuk segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif, sesuai dengan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 serta Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tentang pelaksanaan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif,” ujar Prof. Dr. Asep Nana Mulyana dalam ekspose virtual tersebut.
Dengan adanya mekanisme ini, Kejaksaan berharap dapat mengurangi beban perkara di pengadilan serta memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki kesalahan mereka tanpa harus menjalani proses pidana yang berkepanjangan.
Restorative Justice semakin menunjukkan efektivitasnya dalam menyelesaikan perkara pidana ringan dengan tetap mempertimbangkan hak korban dan memberikan kesempatan rehabilitasi bagi pelaku.
Langkah Kejaksaan Agung ini diharapkan dapat menjadi model dalam penegakan hukum yang lebih berkeadilan, mengedepankan perdamaian, serta mendorong masyarakat untuk menyelesaikan konflik secara damai tanpa harus selalu berakhir di meja hijau. (Js)