Hukum

Jaksa Agung Setujui Penghentian Penuntutan 7 Perkara Melalui Mekanisme Restorative Justice

post-img
Foto : JAM-Pidum Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.H. memimpin ekspose virtual yang digelar. Rabu, 11 Juni 2025

LDberita.id - Jakarta, Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.H. memimpin ekspose virtual yang digelar pada Rabu, 11 Juni 2025, dalam rangka menyetujui permohonan penghentian penuntutan terhadap tujuh perkara pidana berdasarkan mekanisme Restorative Justice (Keadilan Restoratif).

Salah satu perkara yang memperoleh persetujuan penyelesaian melalui keadilan restoratif berasal dari wilayah hukum Kejaksaan Negeri Palu, dengan tersangka Sutarman alias Anto, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

Perkara bermula pada tanggal 10 April 2025 sekitar pukul 15.00 WITA, saat tersangka Sutarman membeli satu unit sepeda motor Honda Revo warna silver tanpa surat-surat resmi dari seseorang bernama Andika Pratama alias Reno (yang diproses dalam berkas terpisah), seharga Rp1.000.000. Tersangka kemudian menggunakan motor tersebut untuk keperluan pribadi.

Belakangan diketahui bahwa sepeda motor tersebut merupakan milik korban Onny Sutarno, KP, yang diambil tanpa izin oleh Andika. Akibat peristiwa ini, korban mengalami kerugian senilai Rp7.000.000.

Melalui proses yang difasilitasi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Palu Mohamad Rohmadi, S.H., M.H., bersama Kasi Pidum Inti Astutik, S.H., M.H. dan Jaksa Fasilitator Rhenita Tuna, S.H., dilakukan mediasi antara tersangka dan korban.

Tersangka menyampaikan permintaan maaf dan menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Korban pun secara sukarela memaafkan dan menyatakan tidak ingin perkara ini dilanjutkan ke tahap persidangan.

Atas dasar kesepakatan damai ini, Kejari Palu mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Plt. Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, Zulfikar Tanjung, S.H., M.H., yang kemudian meneruskan permohonan ke JAM-Pidum dan akhirnya disetujui.

Selain perkara Sutarman, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian enam perkara lainnya melalui pendekatan keadilan restoratif, yaitu:

Andre Hermanto - Kejari Mataram (Pasal 362 KUHP & Pasal 367 Ayat (2) KUHP - Pencurian dalam Keluarga)

I Dewi Handayani, Suyatno alias Yatno, dan Nur Indah Sari – Kejari Mataram (Pasal 170 Ayat (1) dan 351 Ayat (1) KUHP - Pengeroyokan dan Penganiayaan)

Reni Anggriani - Kejari Dompu (Pasal 351 Ayat (1) KUHP - Penganiayaan)

Soniriana Zai alias Ina Loig - Kejari Gunung Sitoli (Pasal 351 Ayat (1) KUHP - Penganiayaan)

Mawati Hulu alias Ina Caya - Kejari Gunung Sitoli (Pasal 351 Ayat (1) KUHP - Penganiayaan)

Loide Sirait - Kejari Simalungun (Pasal 351 Ayat (1) KUHP - Penganiayaan)

Alasan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif

Penghentian penuntutan terhadap ketujuh perkara tersebut didasarkan pada pertimbangan hukum dan kemanusiaan, dengan memenuhi sejumlah kriteria sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020, di antaranya:

Telah dilakukan proses perdamaian antara tersangka dan korban, tersangka mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta korban telah memaafkan, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana dan belum pernah dihukum.

Perdamaian dilakukan secara sukarela tanpa tekanan atau paksaan, Tersangka berjanji tidak mengulangi perbuatannya, Penyelesaian perkara di luar persidangan dinilai lebih bermanfaat bagi para pihak dan masyarakat, Terdapat pertimbangan sosiologis dan respons positif dari masyarakat.

JAM-Pidum menegaskan bahwa para Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan agar segera menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai bentuk konkret pelaksanaan peraturan dan surat edaran internal Kejaksaan Agung.

“Keadilan restoratif bukan sekadar penghentian penuntutan, tetapi wujud nyata hadirnya negara dalam menyelesaikan perkara secara adil, manusiawi, dan berkeadaban. (Js)

Berita Terkait