Sumut

Akulah Soekarno

post-img
Foto : Oleh : Zefri Ansari (Mahasiswa Pascasarjana UMSU)

LDberita.id - Descartes seorang filsuf dari Francis pernah mengatakan Cogito ergo sum, artinya aku berfikir maka aku ada. Proposisi Descartes dikorelasikan dengan tema ‘Aku’lah Soekarno, konklusinya adalah generasi bangsa Indonesia diseru untuk berfikir kembali tentang eksistensi sejarah Bung Karno.
Siapakah Bung Karno? Mungkin sebagian orang akan mengatakan, beliau adalah presiden pertama Negara Republik Indonesia; atau dia adalah proklamator ulung yang dimiliki bangsa Indonesia; atau dia adalah ayah biologis dari ibu Megawati Soekarnoputri; dan lain sebagainya.
Semua jawaban yang diutarakan dalam rangka mendeskripsikan sosok Bung Karno sebagai sosok, figur, dan proklamator Bangsa Indonesia.
Jika konsepsi seseorang terhadap sejarah Bung Karno hanya sebatas seorang presiden pertama RI, proklamator, dan ayah, maka sejarah Bung Karno tidak akan memiliki nilai signifikan dan tidak relevan untuk dibahas, dikaji, direnungi, dan diteladani oleh generang bangsa untuk tiap masa.
Namun, secara defacto Bung Karno, tetap hidup dan bersemayam di hati generasi muda Bangsa Indonesia dalam setiap masa. Dengan demikian, konteks sejarah Bung Karno harus direkonstruksi di masa mendatang, sebab tujuan mempelajari sejarah adalah untuk membangun masa depan, bukan kembali ke masa lampau.
Lantas, bagaimana membangun bangsa Indonesia melalui sejarah Bung Karno? Bangsa Indonesia bisa maju dan berkembang jika tetap meneladani nilai-nilai yang terletak dalam karakter, pemikiran, gerakan, dan politik Bung Karno terhadap bangsa tercinta ini.
Bung Karno dalam tiap kesempatan selalu menyerukan kemandirian dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana beliau ungkapkan “Tuhan menciptakan bangsa untuk maju melawan kebohongan elit atas, hanya bangsanya sendiri yang mampu merubah nasib negerinya sendiri”, artinya, jika Bangsa Indonesia ingin maju harus mandiri dalam setiap sector kehidupan.
Rakyat Indonesia sudah cukup merasakan getir penjajahan, 3,5 Abad bumi pertiwi ini dijajah oleh colonial, semua potensi alam dan kekayaan bangsa Indonesia digunakan oleh colonial untuk mensejahterakan dan membahagiakan mereka, sementara rakyat Indonesia yang menderita.
Jadi kemandirian merupakan syarat mutlak bagi bangsa yang ingin maju dan berkembang di masa mendatang. Salah satu bukti sikap kemandirian Bangsa Indonesia saat ini adalah dimana masa Pandemi Covid-19, Indonesia tidak bergantung kepada Negara lain dalam penanggulangan wabah corona.
Ilmuwan Indonesia telah mampu menciptakan vaksin dan alat pendeteksi virus corona tanpa harus mengimpor vaksin dan alat dari luar negeri. Hal ini bisa terjadi dikarenakan sikap kemandirian Negara dan rakyat Indonesia.
Karakter Bung Karno sebagaimana dijelaskan oleh beberapa sejarawan Indonesia memiliki sikap tegas, berani, orator ulung. Meskipun pada masanya beliau masih tergolong muda, namun beliau memiliki sikap tegas, berani menyerukan suara keadilan dan kebenaran serta komitmen memperjuangkan kemerdekaan NKRI.
Karekter seperti beliau harus dimiliki oleh generasi bangsa dalam setiap zamannya. Pada masa penjajahan, Belanda menjalankan trayek politik devide et impera (politik adu domba), yakni kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi colonial Belanda yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan.
Sadar akan politik yang telah dilakukan oleh Belanda, Bung Karno mengadakan perlawanan terhadap politik tersebut dengan cara menyuarakan politik nasionalisme yang berdasarkan Bhineka Tunggal Ika. Gerakan nasionalisme yang dibangun oleh Bung Karno bertujuan untuk menyadarkan rakyat tentang politik Bangsa Indonesia lahir dari budaya bersama, bukan berdasarkan garis keturunan.
Gerakan nasionalisme yang dibangun oleh Bung Karno pada saat ini, tepatnya pada ivent Pilkada mulai tercerabut dari akarnya, banyak masyarakat, partai politik, serta tim sukses menggunakan gaya politik kolonialis dalam kompetisi Pilkada. Cara yang acap kali digunakan adalah politik identitas dan politik labeling yang mana merupakan warisan politik colonial, apalagi jika di suatu daerah yang menyelenggarakan Pilkada terdapat dua calon yang berbeda agama, ras, suku, dan lainnya. Bahkan, para tokoh agama pun akan ikut andil dalam menyuarakan politik identitas dan lebeling tersebut.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi politik colonial harus dilawan dengan menggali kembali nilai-nilai gerakan politik yang telah digariskan oleh Bung Karno. Ingat pesan Bung Karno “Pemilihan umum jangan menjadi tempat pertempuran. Perjuangan kepartaian yang dapat memecah persatuan bangsa Indonesia”.
Salah satu lagi prinsip yang dipegang teguh oleh Bung Karno yakni prinsip persatuan dan kesatuan. Keduanya merupakan harga mati tanpa tawar-menawar lagi. Jika bangsa ingin maju harus memiliki prinsip persatuan dan kesatuan. Perbedaan yang ada pada rakyat Indonesia merupakan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, namun perbedaan jangan dijadikan ajang perpecahan antar sesama rakyat.
Kesadaran akan realita kemajemukan suku, agama, rasa, dan budaya merupakan warisan nusantara yang tidak dimiliki oleh Negara lain. Prinsip persatuan dan kesatuan harus dipegang teguh saat ini, mengingat maraknya sikap intoleransi dan radikalisme di tengah rakyat Indonesia yang bertujuan untuk merubah falsafah dan ideologi Bangsa Indonesia.
Para pahlawan banyak berkorban mulai dari harta, keluarga, dan nyawa untuk mempertahankan ideologi dan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila. Ingat, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.
Akhirnya, keterbatasan rangkaian kata-kata yang ditulis ini tidak akan dapat mendeskripsikan dan menggambarkan sosok Bung Karno. Paling tidak, tulisan ini hanya setetes dari luas samudera sosok Bung Karno.
Penulis hanya mengingat apa yang disampaikan oleh Bung Karno “Tulislah tentang aku dengan tinta hitam atau tinta putihmu. Biarlah sejarah membaca dan menjawabnya”. Tulisan ini merupakan representasi rasa kecintaaan terhadap Bung Karno, ingat JAS MERAH (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah).

Artikel ini ditulis untuk mengikuti lomba menulis artikel oleh DPD PDI Perjuangan Sumut dalam rangka memeriahkan Bulan Bung Karno.

Berita Terkait