Batubara

WTP: Ketika Laporan Keuangan Lebih Rapi dari Jalanan Petani di Desa

post-img
Foto : Kondisi jalan pematang jernang wilayah desa perupuk, Kecamatan lima Puluh Pesisir, yang setiap hari dilaluhi oleh petani tak kunjung diperbaiki oleh pemerintah daerah Batu Bara

LDberita.id - Batubara, Ketika Pemerintah Kabupaten Batu Bara kembali menerima opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI Perwakilan Sumatera Utara atas laporan keuangan tahun anggaran 2024, banyak pihak yang bersorak, seolah ini adalah puncak dari tata kelola pemerintahan yang baik dan transparan. Tapi pertanyaannya sederhana benarkah demikian.

Saya tidak bermaksud mengecilkan kerja keras para penyusun laporan keuangan. Namun, terlalu naif jika kita terus membius publik dengan dokumen yang rapi, sementara kenyataan di lapangan justru menyuguhkan potret buram tentang kegagalan manajemen publik.

Mari kita buka lembaran kenyataan. WTP adalah soal kesesuaian laporan dengan standar akuntansi pemerintahan, bukan berarti semua baik-baik saja.

Kenyataannya, jalan petani di Pematang Jernang, Desa Perupuk, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, rusak parah dan seolah tak pernah menjadi prioritas. Sementara sektor pertanian adalah nadi ekonomi rakyat kecil, infrastruktur pendukungnya justru diabaikan.

Lebih ironis lagi, kita bicara soal aset daerah yang konon merupakan kekayaan negara namun hari ini tak sedikit aset BUMD Batu Bara yang hilang entah ke mana. Tak ada kejelasan hukum, tak ada penelusuran serius. Ini bukan hanya kegagalan administratif, tapi juga pengkhianatan terhadap mandat rakyat.

Dan lihatlah kantor Bupati yang baru satu tahun dibangun. Retak, bocor, dan mulai rusak, padahal setiap tahun dianggarkan biaya perawatannya. Apakah ini bukan bentuk nyata dari proyek asal jadi, atau bahkan indikasi awal dari korupsi struktural yang terbungkus rapi dalam kemasan laporan keuangan yang “sesuai aturan”

Satu lagi simbol dari ironi ini, lapangan olahraga di depan kantor Bupati yang menyedot ratusan juta rupiah, kini menjadi ruang kosong yang tak berfungsi. Tidak ada aktivitas, tidak ada dampak sosial, hanya sebidang tanah dengan plakat anggaran." Pertanyaannya, untuk siapa semua itu dibangun.

WTP bukan tameng untuk menutupi kegagalan. WTP bukan pembenaran bahwa kebijakan pembangunan telah tepat. Rakyat tidak hidup dari laporan keuangan, mereka hidup dari jalan yang layak, pelayanan yang memadai, serta dari aset publik yang memberi manfaat langsung.

Maka ketika WTP dijadikan bahan pamer oleh elite, kita wajib bertanya, apakah pemerintah sedang bekerja untuk rakyat atau untuk menenangkan auditor.

Jika kita ingin mencerdaskan masyarakat, kita tidak boleh membiarkan prestasi administratif dijadikan alat pembungkam kritik yang membangun kampung kita sendiri.

Kita perlu mendobrak narasi bahwa “rapi” berarti “berhasil”, bahwa “tertib dokumen” berarti “tuntas pembangunan”. Rakyat berhak tahu bahwa ada jurang besar antara laporan keuangan dan kenyataan sosial.

Transparansi bukan sekadar menyerahkan laporan kepada BPK. Transparansi adalah kejujuran kepada rakyat, keberanian membuka luka, dan kesungguhan memperbaikinya. Jika tidak, maka WTP hanyalah prestasi semu yang dibangun di atas reruntuhan kepercayaan publik." tandasnya. (Boy)

Berita Terkait