LDberita.id - Batubara, Di sebuah sudut sunyi di Dusun 2 Nelayan, Desa Guntung, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, berdirilah sebuah rumah kayu yang nyaris roboh.
Atapnya berlubang, dindingnya rapuh, lantainya beralaskan papan yang lembab. Di sanalah seorang ibu, Sulasno Yusnidar, mengasuh lima anaknya dalam pelukan kemiskinan yang nyaris tak terlihat oleh mata penguasa.
Tak ada lemari megah, tak ada kasur empuk. Hanya tikar lusuh, panci kosong, dan dinding yang setiap malam bergetar karena angin laut yang masuk tanpa izin.
Kala hujan turun, bukan kesejukan yang datang, tapi banjir kecil yang membasahi setiap sudut rumahnya.
Anak-anaknya menggigil dalam pelukan sang ibu, mencoba tidur sambil memeluk mimpi tentang rumah yang tak bocor lagi.
“Kami tetap tinggal di sini. Kalau hujan, semuanya basah. Tapi kami sudah terbiasa. Mau ke mana lagi” ucap Yusnidar dengan suara lirih, saat dikunjungi pengurus PPD Lima Puluh Pesisir dalam kegiatan Berbagi Berkah, Jumat (11/4/2025).
Ia tak menangis. Tapi dari tatap matanya, jelas ada luka yang terlalu lama dipendam. Luka karena janji-janji kesejahteraan yang hanya mampir di baliho, bukan di depan pintu rumahnya.
Luka karena diamnya para pemimpin yang tak pernah menoleh ke arah tempat ia berdiri, meski hanya sejenak.
Sulasno bukan satu-satunya. Ia adalah potret dari ribuan wajah rakyat Batu Bara yang masih hidup dalam ketidakpastian.
Di balik pesta seremonial, di balik pidato yang penuh optimisme, mereka tetap saja terpinggirkan. Yang miskin tetap miskin, yang terabaikan tetap tak terdengar.
Apakah seorang ibu harus berteriak lebih keras agar bisa didengar oleh para pemegang kekuasaan." Apakah rumah harus benar-benar roboh dulu sebelum ada yang datang menolong.
Sulasno Yusnidar tak butuh istana. Ia hanya ingin atap yang tak bocor, lantai yang tak lapuk dan becek, dan malam yang bisa dilewati anak-anaknya tanpa rasa takut. Bukankah itu hak dasar setiap warga negara.
Pemerintah Kabupaten Batu Bara, tidakkah suara sunyi ini sampai ke ruang kerjamu yang nyaman. Tidakkah hatimu tergetar melihat seorang ibu bertarung sendiri melawan hujan dan kemiskinan demi anak-anaknya.
Tidakkah nuranimu bertanya, apa yang sudah kami lakukan selama ini. Ini bukan soal politis. Ini soal kemanusiaan, dan kemanusiaan tak boleh kalah oleh diam.
Ibu Sulasno masih menunggu. Bukan pada kemeja berdasi atau mobil mewah, tapi pada hati yang peduli.
Karena pemimpin sejati bukan hanya yang bisa bicara di atas mimbar, tapi yang mampu berjalan ke sudut-sudut desa yang terpencil dan berkata: “Ibu, maafkan kami. Kami datang untuk memperbaiki segalanya. (Boy)
.jpg)





