LDberita.id - Sorong, Penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan alat cetakan pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Sorong yang bersumber dari APBD Tahun Anggaran 2017 memasuki babak baru. Kejaksaan Tinggi Papua Barat (Kejati PB) memastikan dalam waktu dekat akan segera menetapkan para tersangka.
Kasus ini ditaksir telah merugikan keuangan negara sebesar Rp8 miliar. Korupsi ini terjadi pada masa awal periode kedua kepemimpinan Wali Kota Drs. Ec Lamberthus Jitmau, M.M, bersama Wakil Wali Kota dr Hj Pahimah Iskandar. Awalnya ditangani Kejaksaan Negeri Sorong, kasus kemudian diambil alih oleh Kejati Papua Barat demi penanganan yang lebih optimal.
Kepala Kejati Papua Barat, Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen penuh menuntaskan penyidikan hingga ke meja hijau. Penegasan ini disampaikannya di Kantor Kejati Papua Barat, Senin (14/7/2025),
“Begitu hasil pemeriksaan ahli kita terima, langsung penetapan tersangka. Keterangan ahli menjadi kunci untuk memperkuat dua alat bukti yang cukup,” ujarnya
Sejauh ini, Kejati telah memeriksa puluhan saksi, termasuk mantan Wali Kota Sorong dua periode, Drs. Ec Lamberthus Jitmau, M.M, serta 26 orang lainnya. Syarifuddin menekankan, tidak semua saksi otomatis akan menjadi tersangka. Namun, seluruh pihak yang berkaitan dengan pengadaan ATK, termasuk rekanan pihak ketiga, sudah diperiksa.
Selain memanggil saksi, Kejati Papua Barat juga menggandeng ahli dari Universitas Tadulako, Sulawesi Tengah, untuk memperkuat konstruksi hukum. Menurut Syarifuddin, laporan keterangan ahli tersebut kini sudah rampung 90 persen.
“Kami menduga ada indikasi pengadaan fiktif dalam proyek ATK BPKAD Kota Sorong tahun 2017. Proses pembuktian sedang kami matangkan,” tambahnya.
Kasus ini menjadi sorotan publik lantaran nominal kerugian negara yang cukup besar serta melibatkan pejabat tinggi daerah. Masyarakat pun berharap Kejati Papua Barat dapat menuntaskan kasus ini secara transparan dan adil, sebagai bentuk nyata pemberantasan korupsi yang merusak sendi pemerintahan.
Syarifuddin menegaskan, pihaknya akan terus mendorong proses hukum sesuai prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Js)
.jpg)





