LDberita.id - Batubara, Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar 12 miliar rupiah yang sejatinya menjadi hak Kabupaten Batu Bara untuk tahun 2024 hingga kini tak kunjung dicairkan.
Kondisi ini mencerminkan ironi di tengah desentralisasi fiskal yang konon digadang sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan. Apa sebenarnya yang terjadi." Apakah pemerintah provinsi dan pusat abai, atau sekadar lamban bertindak.
Dana DBH, yang merupakan bentuk transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah, berasal dari pendapatan negara tertentu seperti pajak dan sumber daya alam di daerah tersebut.
Dana ini, yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, kini justru menjadi beban psikologis bagi Kabupaten Batu Bara.
Di saat masyarakat menanti perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik, pemerintah daerah harus gigit jari karena ketiadaan dana.
Dalam diskusi bulanan, Ramli Sinaga, masyarakat dan pengamat sosial Batu Bara, mengatakan. "Apakah pemerintah pusat dan provinsi Sumatera Utara begitu sibuk hingga tak punya waktu untuk sekadar memenuhi kewajibannya kepada daerah Kabupaten Batu Bara.
Ini bukan soal angka, tetapi soal keadilan. Ketika dana ini tidak cair, yang menderita adalah rakyat Batu Bara, bukan mereka yang duduk di kursi empuk," ujar Ramli. Jumat (03/01/2025).
Ia juga menyampaikan dampak politis dari persoalan ini. “Belum dibayarkannya dana DBH ini akan menjadi catatan sejarah masyarakat Batu Bara bagi kepemimpinan Pj. Gubernur Sumatera Utara, Agus Fatoni.
Rakyat tidak hanya menilai dari janji manis, tetapi dari aksi nyata. Kalau urusan sekrusial ini saja tak mampu diselesaikan, bagaimana dengan isu-isu lain yang lebih kompleks,” tambahnya.
Keterlambatan pembayaran dana DBH tak hanya mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah pusat dan provinsi Sumatera Utara, tetapi juga mengisyaratkan kegagalan komunikasi antara para pemangku kepentingan.
Situasi ini tentu menjadi preseden buruk bagi semangat desentralisasi fiskal yang sejatinya bertujuan mendukung pemerataan pembangunan daerah.
Jika keterlambatan ini terus berlanjut, pertanyaannya adalah bagaimana Kabupaten Batu Bara bisa melanjutkan pembangunan yang merata dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan anggaran yang terbatas dan dana DBH yang tertahan, kabupaten ini seperti kapal yang hendak berlayar namun ditahan sauhnya oleh nakhoda yang tak peduli.
Ramli Sinaga mengingatkan, "Pemerintah pusat dan provinsi Sumatera harus sadar bahwa rakyat memiliki batas kesabaran.
Jika terus dikecewakan, jangan salahkan jika suara mereka berubah menjadi tuntutan,bahkan aksi demonstrasi."
Keterlambatan dana DBH ini tak ubahnya sebuah paradoks dalam pengelolaan negara. Di satu sisi, pemerintah pusat selalu menggaungkan pentingnya desentralisasi fiskal.
Namun di sisi lain, hak-hak daerah justru diabaikan. Batu Bara hanya salah satu contoh kecil dari banyak daerah yang mengalami nasib serupa.
Daerah Kabupaten Batu Bara, yang memiliki potensi besar dalam sumber daya alam dan sektor lain, kini berada di persimpangan jalan.
Apakah pemerintah akan segera bertindak, atau memilih membiarkan persoalan ini menjadi bom waktu yang menghancurkan kepercayaan masyarakat.
Saatnya pemerintah pusat dan provinsi Sumatera Utara membuktikan bahwa mereka masih memiliki nurani untuk mendukung daerah ini untuk maju dan berkembang, dan tidak menunda-nunda dengan alasan teknis yang tak masuk akal.
Masyarakat Batu Bara menanti tindakan nyata, bukan janji hampa. Jangan biarkan keterlambatan dana DBH ini menjadi simbol ketidakpedulian terhadap daerah dan rakyatnya sendiri." tandasnya. (Boy)