Medan - (LDberita) Bung Karno memang lahir di Blitar menimba ilmu di Surabaya dengan seorang ideolog kenamaan HOS Cokro Aminoto bersama sahabat karibnya dan menghidupkan api Revolusi dari Jakarta, akan tetapi Sumatera Utara memiliki jejak historis yang tidak bisa di pisahkan dari jejak perjalanan hidup sang Proklamator yang Lahir pada 6 Juni 1901 tersebut, karena pada masa perlawan melawan kolonial Belanda Bung Karno pernah diasingkan di dua tempat di Sumut yaitu Brastagi dan Danau Toba Parapat.
Pengasingan yang dilakukan oleh Belanda terhadap Bung Karno dan Tokoh Nasional Lainnya di Sumut membuat Bung Karno memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Sumut bahkan masyarakat Karo memberi julukan sebagai penghargaan luar biasa terhadap sang Proklamator tersebut yaitu "Bapa Rayat Sirulo" dan penghargaan tersebut merupakan kehendak nurani masyarakat Sumut terutama masyarakat Karo dalam menghargai sosok Bung Karno secara utuh termasuk nilai serta ajarannya.
Mengutip pernyataan Guruh Sukarnoputra ketika memberikan kata sambutan pada saat berlangsungnya peletakan batu pertama pemugaran rumah pengasingan Bung Karno di Berastagi, beliau mengatakan bahwa orang Karo begitu cinta terhadap sosok Soekarno karena adanya ikatan emosional Bung Karno dengan masyarakat yang sangat dekat, "sehingga ajaran-ajaran tokoh proklamator dan Presiden RI pertama itu, sampai saat ini masih tetap berakar dan melekat dihati sanubari seluruh rakyat Karo" Ujar Guruh Kala itu.
Kecintaan masyarakat Karo terhadap Sosok Putra Sang Fajar tidak bisa diganggu gugat dan kecintaan tersebut membuat masyarakat Karo seolah menjadi masyarakat kelas dua di masa Orde Baru dengan kurun waktu 32 Tahun, berbagai usaha dilakukan oleh Orde Baru untuk menjauhkan orang Karo pada sosok Bung Karno, akan tetapi kecintaan masyarakat Karo tetap terpatri di sanubari meski harus berhadapan dengan stigma Orde Baru yang tidak pro terhadap masyarakat yang cinta terhadap Bung Karno.
Dalam menggenggam Cinta terhadap Bung Karno orang Karo telah menjalani pahit dan getirnya Kecintaan tersebut, mulai distigmakan negatif hingga penutupan peluang berkiprah di pentas Politik di masa Orde Baru dan itu dilalukan secara masif oleh Orde Baru selama 32 Tahun, dan tak sedikit Tokoh Karo yang hidupnya berakhir tragis di tangan pemerintah Orde Baru, Tapi bukan Karo kalau pantang menyerah, masyarakat Karo terus memberikan perlawan yang masif pula terutama perlawanan secara hudaya.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Berastagi
Pertanyaan selanjutnya kenapa begitu cintanya orang Karo terhadap Bung Karno, hal itu sangat mudah untuk di jawab karena Masyarakat Karo secara umum memiliki kearifan lokal dan budaya yang tidak jauh berbeda dengan ajaran Bung Karno terutama nilai kegotong royongan, sebagai contoh penulis membahas kembali istilah gotong royong yang khas dikalangan petani tanah Karo yang disebut dengan "Aron".
Aron merupakan kelompok petani yang secara bergiliran menggarap sawah dan ladang awalnya dilakukan oleh kalangan perempuan Masyarakat Karo, beranggotakan beberapa orang atau lebih rinci lagi 10-14 orang yang setiap hari bergilir mengerjakan tanah anggota kelompoknya, dan Aron menjadi nilai budaya gotong royong pertanian yang lakukan oleh masyarakat Karo, dan hingga kini dibeberapa tempat Kelompok Aron masih ada dan berlaku.
Aron dalam masa perlawanan terhadap Kolonialisme ternyata mengambil peran yang luar biasa dan sejarah mencatat Kelopok Aron dengan kekuatan 4000 Aron pernah melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Jepang di Tahun1942, dan pada masa Agresi militer Belanda Aron menjelma sebagai Laskar Rakyat yang cukup diperhitungkan dalam setiap pertempuran melawan penjajah Belanda, bahkan beberapa nama Tokoh Aron seperti Ngumban Surbakti menjadi tokoh perlawanan penting di Tanah Karo, dan mengenai perlawanan Fisik Aron akan penulis ketengahkan dikemudian hari.
Kebencian Masyarakat Karo terhadap kolinialisme dan imperialisme merupakan pandangan yang sejalan dengan Bung Karno sehingga dalam masa pembuangan di Brastagi meski hanya 12 Hari menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah Masyarakat Karo.
Interaksi Bung Karno dengan Masyarakat Karo memang singkat akan tetapi mampu memantik semangat gotong royong masyarakat Karo dalam mengusir kolonial Belanda dan hal itu dibuktikan dengan semangat tanpa batas Masyarakat Karo dalam bergotong royong mengusir belanda dari Bumi Sumatera Utara, dan Sukarno berhasil mejadi maskot atau lambang dari perjuangan tersebut, karena memang nilai dan ajaran Bung Karno sejalan dengan Nilai Masyarakat Karo yaitu Bergotong royong dan berdiri di Kaki Sendiri, maka Wajar jika Masyarakat Karo menyebut Bung Karno sebagai "Bapa Rakyat Sirulo." Pungkasnya. (Jasmi)
.jpg)





