LDberita.id - Medan, Dalam tradisi gerakan politik yang berbasis nilai, kader adalah aktor kunci yang menjaga nyala semangat perjuangan. Dalam konteks Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kader bukan sekadar anggota biasa, melainkan pejuang politik yang telah dibina secara ideologis, organisatoris, dan moral-spiritual. Ia memikul tanggung jawab untuk meneruskan cita-cita besar para pendiri bangsa, ulama, dan masyarakat akar rumput yang menjadi basis kekuatan utama partai ini.
Kader PKB harus memahami bahwa kehadirannya bukan hanya untuk mengisi kursi kekuasaan, tetapi untuk menunaikan amanah perjuangan: membumikan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, memperkuat kebangsaan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Oleh karena itu, posisi kader dalam tubuh partai ibarat darah dalam tubuh manusia: vital, dinamis, dan menentukan arah gerak kehidupan partai.
Peran Strategis Kader dalam Menjaga Jati Diri Partai
Dalam realitas politik yang semakin kompetitif dan pragmatis, peran kader menjadi semakin penting, bahkan menentukan. Di satu sisi, kader adalah pelaksana program partai, penggerak massa, penyambung lidah konstituen, sekaligus pembina organisasi. Di sisi lain, kader adalah benteng ideologis partai ia menjaga agar orientasi politik tidak keluar jalur dari nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi PKB: keislaman, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan.
Kader yang loyal tidak hanya patuh kepada instruksi struktural, tetapi juga memiliki kesadaran ideologis ia tahu untuk apa dirinya berjuang, siapa yang ia wakili, dan nilai apa yang sedang ia tegakkan. Di tengah politik yang makin transaksional, kehadiran kader yang kokoh secara ideologis menjadi penentu apakah partai mampu bertahan dalam jangka panjang, atau hanya menjadi kendaraan sesaat bagi kepentingan elektoral.
Tantangan Besar: De-Ideologisasi Politik dan Kaderisasi yang Rapuh
Kita hidup di tengah zaman yang mengalami de-ideologisasi suatu kondisi ketika ideologi tidak lagi menjadi pijakan utama dalam gerakan politik. Partai-partai cenderung mengabaikan nilai dasar perjuangan dan lebih menekankan pada popularitas tokoh, strategi media, dan logika elektoral.
Kaderisasi pun tak jarang berubah menjadi kegiatan formalitas, tanpa penanaman nilai dan cita-cita.
Tantangan ini juga menyentuh partai berbasis nilai seperti PKB. Banyak kader muda yang masuk partai dengan semangat tinggi, tetapi kehilangan arah karena tidak mendapatkan pendampingan ideologis yang memadai. Mereka aktif di lapangan, tapi tidak memahami ruh perjuangan. Mereka giat dalam kampanye, tapi tidak menjiwai gagasan-gagasan dasar partai. Ini adalah masalah serius yang harus dijawab secara struktural dan kultural.
Lebih dari itu, budaya politik yang serba instan dan pragmatis juga meracuni iklim kaderisasi. Politik uang, politik pencitraan, dan loyalitas semu membuat kader lebih berpikir soal “apa yang saya dapat” daripada “apa yang saya perjuangkan”. Akibatnya, kita menyaksikan fenomena kader musiman—aktif menjelang pemilu, lalu menghilang setelahnya.
Konteks PKB: Ideologi yang Kaya, Tapi Sering Terlupakan
Sebagai partai yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU), PKB memiliki kekayaan ideologis yang sangat mendalam. Gagasan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman), Islam Nusantara, dan komitmen kebangsaan yang inklusif, seharusnya menjadi bahan bakar utama dalam pembinaan kader.
Namun dalam praktiknya, tidak semua struktur partai mampu mentransformasikan nilai-nilai ini ke dalam sistem kaderisasi yang sistematis dan berkelanjutan. Akibatnya, sebagian kader PKB lebih mengenal jargon kampanye daripada pemikiran para ulama pendiri bangsa. Mereka hafal prosedur pemilu, tapi asing terhadap prinsip tasamuh, tawazun, dan ta’addudiyah yang menjadi karakter keislaman dalam tradisi NU.
Membangun Loyalitas Kader: Jalan yang Tidak Instan
Membangun kader loyal bukanlah pekerjaan instan. Ia memerlukan proses panjang, bertahap, dan konsisten. Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang bisa diperkuat di tubuh PKB:
1. Revitalisasi Kaderisasi Ideologis
Kaderisasi tidak boleh hanya bersifat teknis dan administratif. Harus ada penguatan pendidikan politik yang menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin, ke-NU-an, dan keindonesiaan. Sekolah partai harus menjadi ruang transformasi kesadaran, bukan sekadar pembekalan prosedural.
2. Penguatan Identitas Kolektif Kader PKB
Kader perlu merasa menjadi bagian dari sejarah besar perjuangan umat dan bangsa. Narasi besar tentang peran NU dalam kemerdekaan, kontribusi pesantren dalam pendidikan, serta peran PKB dalam memperjuangkan rakyat kecil harus menjadi bagian dari formasi identitas kader.
3. Teladan dari Elit Partai
Tidak akan lahir kader loyal jika para pimpinan partai justru menunjukkan sikap pragmatis, eksklusif, atau jauh dari akar rumput. Teladan adalah bahasa yang paling didengar oleh kader. Elit harus menjadi inspirasi, bukan sekadar komando.
4. Konektivitas antara Struktur dan Basis
Loyalitas tumbuh dari kedekatan emosional dan ideologis antara kader dengan rakyat. Maka, kader PKB harus selalu dekat dengan masjid, pesantren, petani, buruh, dan kelompok marginal lainnya. Kegiatan politik harus selaras dengan gerakan sosial.
5. Relevansi Gagasan dengan Isu Zaman
Kader muda harus diajak berdialog dengan isu-isu zaman: digitalisasi, krisis ekologi, ketimpangan sosial, intoleransi, hingga perubahan budaya generasi. Ideologi PKB harus dibumikan dalam bahasa yang dipahami generasi baru.
Kesimpulan: Meneguhkan Loyalitas di Tengah Arus
Kita tidak bisa menutup mata terhadap gelombang de-ideologisasi yang melanda dunia politik. Tapi sebagai kader dan pengurus PKB, kita justru harus menjadikan tantangan ini sebagai momen untuk menegaskan jati diri. Di tengah badai pragmatisme, kita harus menjadi nahkoda yang menuntun arah. Di tengah pasar politik yang ramai dengan transaksi, kita harus menjadi penjaga nilai.
Loyalitas bukanlah hasil iming-iming, tetapi buah dari proses pembinaan, peneladanan, dan penghayatan nilai-nilai luhur. PKB memiliki semua bahan untuk itu tinggal bagaimana kita, sebagai kader dan pengurus, sungguh-sungguh menjadikannya kekuatan hidup dalam gerakan politik.
Mari kita teguhkan komitmen untuk menjadi kader-kader yang tidak hanya loyal pada struktur, tapi juga setia pada perjuangan. Karena sesungguhnya, politik tanpa loyalitas adalah gerakan tanpa ruh. Dan partai tanpa kader ideologis adalah tubuh tanpa jiwa. (Faisal)