Medan

KPAID Tanpa Advokat, Seperti Rumah Sakit Tanpa Dokter

post-img
Foto : Baginta Manihuruk, SH, MH seorang advokat kawakan di Kota Medan

LDberita.id - Medan, Seolah tak cukup peliknya persoalan anak di negeri ini, publik kini disuguhi pernyataan keliru: konon katanya advokat tidak boleh menjadi bagian dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID).

Pernyataan yang mengundang gelombang tanya dari para praktisi hukum, karena menunjukkan satu hal yang nyata, kebingungan mendalam terhadap fungsi advokat.

Baginta Manihuruk, SH, MH seorang advokat kawakan yang juga dosen hukum di Medan menanggapi tegas isu tersebut, di Kota Medan, Rabu (9/04/2025).

Ia menyebut pelarangan advokat bergabung di KPAID sebagai bentuk kesalahpahaman serius terhadap profesi hukum yang dijamin oleh negara.

“Kalau KPAID itu tugasnya advokasi. Sangat keliru jika ada yang mengira fungsi advokat akan merusak independensi. Justru KPAID membutuhkan mereka yang punya kompetensi hukum, dan siapa yang lebih tepat dari advokat?” ujar Baginta.

Lebih lanjut, Baginta merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya pada.

Pasal 5 Ayat (1): "Advokat bebas menjalankan profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada Kode Etik dan peraturan perundang-undangan."

Pasal 16: "Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik."

“Kebebasan dan independensi itu dijamin oleh undang-undang. Advokat itu bukan ASN, bukan pejabat publik. Jadi selama tidak merangkap jabatan eksekutif, legislatif, atau yudikatif, tidak ada larangan,” tegasnya.

Lebih menarik lagi, Baginta mengutip Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002), di mana pada.

Pasal 76C: "Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak."

Pasal 21 dan 22. Mengatur bahwa negara, pemerintah, dan masyarakat wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak, termasuk melalui bantuan hukum.

“Advokat justru bagian penting dalam pemenuhan perlindungan hukum terhadap anak. Kalau bukan advokat, siapa yang akan memberikan pembelaan ketika hak anak dilanggar." Relawan tanpa pemahaman hukum?” tukasnya.

Baginta juga mengingatkan bahwa Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pernah secara eksplisit mensyaratkan.

Kartu Tanda Advokat,

Pengalaman sebagai tenaga layanan advokasi terhadap isu perempuan dan anak,

Sertifikat pelatihan penanganan kekerasan atau Konvensi Hak Anak (KHA).

“Jelas bahwa justru keberadaan advokat dianggap penting dan krusial dalam struktur perlindungan anak di Indonesia,” tambahnya.

Dari pada bikin tafsir keliru dan bikin gaduh, mungkin sebaiknya para pengusul larangan itu ikut pelatihan hukum dasar dulu. Ini bukan soal selera, ini soal konstitusi.”

Baginta berharap agar publik tidak disesatkan oleh tafsir sembrono yang tidak berdasar hukum.

“Menolak advokat di KPAID itu sama saja dengan menolak dokter di rumah sakit. Tanpa mereka, bagaimana perlindungan itu bisa berjalan." tandasnya. (Boy)

Berita Terkait