LDberita.id - Medan, Indonesia tengah mengalami krisis diam-diam dalam dunia politik: keruntuhan ideologi dan rapuhnya kaderisasi. Sebuah ironi besar bagi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang justru menampilkan wajah partai politik sebagai alat kekuasaan, bukan rumah pembinaan nilai. Dalam konteks inilah, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bisa dijadikan cermin untuk mengkaji kegelisahan yang lebih luas: bagaimana partai berbasis nilai dan sejarah besar pun mulai goyah di hadapan gelombang pragmatisme politik.
Kata “kader” kini makin kehilangan makna. Di banyak partai, kaderisasi berubah menjadi prosedur administratif: mengikuti diklat, hafal AD/ART, selesai. Padahal dalam sejarah politik modern, kader adalah elemen vital dalam transformasi sosial-politik. Kader bukan hanya penggerak, tetapi penyebar nilai, penafsir ideologi, dan penjaga arah juang.
Sayangnya, di zaman ini, kaderisasi tak lagi dimaknai sebagai proses panjang pembentukan watak dan nilai. Ia disubstitusi oleh loyalitas instan, kekuatan modal, dan popularitas semu. Akibatnya, banyak partai melahirkan “kader kosmetik” ramai di baliho, senyap dalam gagasan.
Fenomena ini bukan sekadar degradasi internal, tapi penyakit sistemik dalam demokrasi Indonesia. Ketika partai tak lagi menanamkan nilai, maka yang tumbuh adalah oportunis politik, bukan negarawan masa depan.
Krisis kader adalah gejala dari penyakit yang lebih dalam: de-ideologisasi partai politik. Hampir semua partai hari ini lebih sibuk mencitrakan tokoh daripada memperkuat basis nilai. Personifikasi politik menggantikan platform perjuangan. Yang dijual bukan lagi ide, tapi figur. Yang diperebutkan bukan perubahan sosial, tapi elektabilitas.
Di tengah atmosfer inilah partai-partai berbasis nilai seperti PKB, PAN, PDIP, dan bahkan PKS, menghadapi ujian besar: mampu bertahan sebagai partai nilai atau hanyut sebagai kendaraan kekuasaan.
PKB, yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama, memiliki kekayaan ideologis yang tak ternilai: Islam moderat, nasionalisme, dan kebangsaan yang inklusif. Tapi kekayaan itu tak otomatis menjadi kekuatan jika tidak ditransformasikan ke dalam sistem kaderisasi yang sistematis, masif, dan relevan dengan zaman.
Politik Indonesia kini bergerak dalam dua poros: kapitalisasi dan kosmetik. Kapitalisasi terlihat dari makin dominannya uang sebagai syarat elektabilitas. Kosmetik terlihat dari kecenderungan pencitraan yang mengaburkan substansi. Kader yang punya gagasan justru kerap kalah dengan tokoh yang punya anggaran.
Akibatnya, loyalitas pun bersifat transaksional. Banyak kader aktif bukan karena ideologinya menyala, tapi karena proyeknya jalan. Loyal ketika diberi posisi, bungkam ketika tersingkir.
Membaca Kembali Fungsi Partai: Dari Mesin Kekuasaan ke Sekolah Ideologi
Dalam teori klasik politik modern, partai bukan sekadar kendaraan, tapi “school of democracy”. Ia mencetak pemimpin, membina warga, dan merawat wacana. Tapi di Indonesia, fungsi ini makin tereduksi. Partai bukan lagi tempat belajar, tapi tempat berebut.
Sudah saatnya partai politik, termasuk PKB, kembali kepada fungsinya sebagai produsen nilai. Sekolah partai harus menjadi ruang kaderisasi ideologis. Kelas-kelas politik harus membuka diskusi tentang realitas zaman: krisis ekologi, digitalisasi, konflik identitas, ketimpangan sosial. Kader harus menjadi juru tafsir zaman, bukan sekadar juru kampanye.
Reformasi Total Kaderisasi Partai: Mengganti pola kaderisasi seremonial dengan pendidikan politik berjenjang, terstruktur, dan berbasis nilai.
Restorasi Ideologi sebagai Arah Juang: Ideologi partai harus dikontekstualisasikan, agar tidak jadi museum narasi. Islam rahmatan lil ‘alamin, nasionalisme, dan kerakyatan harus masuk dalam agenda politik konkret.
Rekonstruksi Loyalitas Kader: Loyalitas harus dibangun lewat kesadaran ideologis, bukan transaksional. Karena hanya kader ideologis yang mampu bertahan dalam ujian zaman.
Keteladanan Etis Para Elit: Elit partai adalah cermin. Ketika elit korup, kader akan sinis. Ketika elit visioner, kader akan bergerak.
Politik Akar Rumput yang Autentik: Kader harus hidup bersama rakyat, bukan hanya muncul di baliho. Dekat dengan pesantren, petani, nelayan, buruh bukan hanya influencer.
Kader adalah titik mula dari transformasi bangsa. Jika kaderisasi gagal, maka masa depan politik nasional akan kosong dari nilai dan gagasan. Jika partai kehilangan ruh ideologi, maka demokrasi hanya menjadi ritual lima tahunan yang hampa makna.
Kita masih punya waktu untuk berbenah. Tapi waktunya tidak banyak. Politik tanpa kader adalah politik tanpa arah. Partai tanpa nilai adalah partai tanpa jiwa.
Penulis: H. Ahmad Jabidi Ritonga
Ketua LKP DPW PKB Sumatera Utara