LDberita.id - Batubara, Perjalanan hukum yang dialami Jalaluddin, warga Dusun IV Desa Titi Merah, Kecamatan Lima Puluh Pesisir, menjadi potret buram penegakan hukum di Kabupaten Batu Bara. Tanah seluas 15.070 m² yang sah dimilikinya berdasarkan SHM No. 110/2005 serta Surat Penetapan Lelang KPKNL S-118/KNL.0203/2025, justru menjadi sumber fitnah yang menyeretnya sebagai terlapor pencurian.
Tak hanya difitnah, becak miliknya juga dirampas oleh pihak yang diduga pelaku, yakni Andi Topan dan Safrizal Hanum. Ironisnya, laporan Jalaluddin malah dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lid) oleh Polsek Lima Puluh, sementara laporan pelaku tetap diproses di Polres Batu Bara.
“Saya diusir, becak saya dirampas dan di usir, lalu difitnah mencuri di tanah sendiri dimana letak hukum kalau seperti ini. Apakah Polsek Lima Puluh menunggu rakyat kecil seperti saya mati dulu baru kasus ditindaklanjuti? Laporan saya dihentikan, laporan pelaku justru jalan terus,” ujar Jalaluddin yang didampingi kuasa hukumnya, Rudi Harmoko, SH. Jumat (26/09/2025),
Kronologi Penanganan Kasus, 25 Agustus 2025, Jalaluddin resmi melapor ke Polsek Lima Puluh.
26 Agustus 2025, Terbit SP Lidik/43/VIII/2025/Reskrim.
23 September 2025, Gelar perkara dilakukan.
24 September 2025, Terbit urat Nomor: SPPP/43a/IX/2025/Reskrim, yang ditandatangani Kapolsek AKP Salomo Sagala, SH dan selaku penyidik IPDA Wira Hidayat, SH, dengan alasan tidak ditemukan peristiwa pidana.
Kuasa hukum Jalaluddin, Rudi Harmoko, SH, menegaskan bahwa penghentian penyelidikan ini berpotensi melanggar sejumlah aturan hukum.
Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP - memberi kewenangan penyidik untuk menerima laporan dan melakukan penyidikan, jika bukti permulaan telah ada (misalnya perampasan becak dan pengusiran), seharusnya penyidikan dilanjutkan, bukan dihentikan secara prematur.
Pasal 109 ayat (2) KUHAP - penyidik boleh menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti. Namun, dalam kasus ini terdapat alat bukti nyata (kepemilikan tanah sah, saksi, serta perampasan becak), dengan dikeluarkannya penghentian penyidikan justru terkesan terjadi penyalahgunaan wewenang.
Pasal 421 KUHP - menegaskan bahwa “Pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Dalam konteks ini, kebijakan penghentian perkara yang merugikan hak pelapor dapat dikategorikan sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang berdampak pada hilangnya rasa keadilan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. SP2 Lid yang prematur bertentangan langsung dengan prinsip konstitusional ini.
Selain itu, terhadap perbuatan pelaku (Andi Topan dan Safrizal Hanum), Rudi menegaskan bahwa terdapat indikasi, Pasal 368 KUHP tentang pemerasan/perampasan barang dan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik akibat tuduhan palsu pencurian.
Rudi menegaskan, kasus ini adalah ujian nyata terhadap komitmen Reformasi Polri yang sedang digencarkan oleh Kapolri. Ia mengutip pernyataan Kalemdiklat Polri Komjen Pol. Prof. Dr. Chryshnanda Dwilaksana, M.Si., Ketua Tim Transformasi Reformasi Polri, yang menyatakan bahwa reformasi tidak hanya sebatas struktur birokrasi, tetapi juga menyentuh nilai moral dan kemanusiaan.
“Kalau Polri benar-benar ingin menegakkan hukum yang beradab, maka penghentian ini harus ditinjau ulang, dan tidak boleh ada rakyat kecil yang dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak, keadilan bukan hak istimewa orang kuat, tapi hak konstitusional setiap warga negara,” ujar Rudi.
Dengan sederet kejanggalan ini, Propam Polda Sumut diminta turun tangan segera, bukan hanya untuk mengawasi, tetapi juga melakukan gelar perkara ulang di tingkat Polda. Hal ini penting agar kasus Jalaluddin bisa diproses secara profesional, objektif, dan bebas dari intervensi kepentingan, ujarnya
Jika Propam Polda Sumut membiarkan masala ini, maka pesan yang sampai ke masyarakat jelas bahwa hukum masih bisa dipermainkan, dan rasa keadilan rakyat kecil tidak pernah mendapat tempat.
“Kasus Jalaluddin bukan hanya soal becak atau tanah, tapi soal martabat hukum dinegeri ini, kalau hukum bisa dipermainkan dan ditekan, untuk apa rakyat percaya pada institusi penegak hukum.” pungkas Rudi. (tim)
.jpg)





