Batubara

Dana Hilang di Tengah Jalan, BPK Temukan Selisih Rp 5,3 Miliar di Laporan Keuangan Dinas Koperasi dan UKM Batu Bara

post-img
Foto : Mantan Kadis Koperasi UKM Batu Bara Arif Hanafiah, S.STP

LDberita.id - Batubara, Kasus dugaan penyimpangan anggaran sebesar Rp 5,3 miliar di Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Batu Bara menjadi sorotan tajam di tengah masyarakat, terutama pelaku UMKM yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari anggaran tersebut.

Ketidakjelasan laporan penggunaan dana yang ditemukan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Tahun Anggaran 2022 memicu dugaan serius terkait potensi korupsi yang berdampak langsung pada perekonomian daerah serta menyisakan kerugian pada kas daerah, sesuai yang di lansir dari media online Kasatnews.id pada (04/11/2024).

Menurut data yang diungkap BPK, anggaran yang tercatat dalam laporan Dinas Koperasi dan UKM Batu Bara hanya Rp. 8.042.407.425,00, sementara LHP BPK mencatat realisasi anggaran sebesar Rp. 13.389.482.925,00, dengan selisih mencapai Rp. 5.347.075.500,00. Pertanyaan besar tentang keberadaan dana ini masih mengambang, karena hingga saat ini pihak Dinas Koperasi dan UKM serta instansi terkait belum memberikan penjelasan resmi kepada publik. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana ini menimbulkan kekecewaan yang mendalam, terutama di kalangan pelaku UMKM yang menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah untuk mengembangkan usaha mereka.

Dugaan Penyimpangan Mengarah pada Praktik Korupsi yang Merugikan UMKM dan Kas Daerah

Selisih anggaran yang begitu besar bukanlah persoalan sepele. Dana sebesar Rp.5,3 miliar bisa menjadi amunisi penting untuk mendorong pertumbuhan UMKM lokal, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Namun, dana yang seharusnya dikelola untuk kepentingan pelaku usaha kecil ini justru diduga “menghilang” tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.

Hal ini memicu dugaan bahwa dana publik telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang secara langsung mencederai prinsip keadilan sosial dan amanah yang diberikan oleh rakyat.

BPK sebagai lembaga negara yang bertugas mengaudit keuangan pemerintah sebenarnya telah memberikan rekomendasi agar ada perbaikan dalam pengelolaan anggaran ini.

Akan tetapi, tanpa adanya tindakan nyata dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan instansi terkait, rekomendasi BPK hanya akan menjadi catatan di atas kertas.

Sementara itu, UMKM yang membutuhkan bantuan dana, pelatihan, dan fasilitasi untuk mengembangkan usahanya malah menjadi korban dari praktik ketidakadilan ini.

Tanggung Jawab APIP dan Perlunya Penegakan Hukum yang Tegas

Ketidakseriusan APIP dalam menindaklanjuti rekomendasi BPK hanya akan memperburuk kondisi ini dan menunjukkan lemahnya pengawasan internal pemerintah daerah.

Sebagai pengawas internal, APIP memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa rekomendasi dari BPK diimplementasikan dengan penuh komitmen demi menjaga kredibilitas pengelolaan keuangan daerah.

Namun, fakta bahwa belum ada tindakan berarti dari APIP menimbulkan pertanyaan besar tentang keberpihakan dan ketegasan lembaga tersebut dalam melaksanakan tugasnya.

Apabila dugaan penyimpangan ini benar terbukti, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian harus segera mengambil langkah tegas.

Penegakan hukum yang cepat dan transparan sangat diperlukan untuk menindaklanjuti hasil audit BPK.

Kasus ini dapat menjadi preseden buruk bagi pengelolaan keuangan di daerah jika tidak segera ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas.

Masyarakat berharap adanya pengusutan yang adil dan transparan untuk mengungkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini dan memastikan dana publik kembali dimanfaatkan sesuai tujuannya.

Masyarakat dan Pelaku UMKM Menuntut Transparansi

Ketidakjelasan penggunaan anggaran ini sangat merugikan para pelaku UMKM yang seharusnya mendapatkan manfaat langsung dari anggaran tersebut.

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, bantuan pemerintah melalui program pengembangan UMKM menjadi harapan bagi banyak usaha kecil yang membutuhkan dukungan modal dan pelatihan.

Akan tetapi, kasus ini justru menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil.

Pelaku UMKM, LSM, dan masyarakat umum menuntut agar Dinas Koperasi dan UKM Batu Bara segera memberikan klarifikasi terbuka mengenai penggunaan dana tersebut.

Selain itu, masyarakat juga mendesak adanya audit lanjutan yang melibatkan pihak independen agar hasilnya lebih objektif dan tidak memihak.

Bila perlu, audit forensik dapat dilakukan untuk memastikan setiap penggunaan dana tercatat dan sesuai dengan peruntukannya.

Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Transparansi dan Akuntabilitas

Kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah akan semakin memudar jika kasus seperti ini terus dibiarkan tanpa ada penyelesaian.

Transparansi dan akuntabilitas bukan hanya sekadar slogan, tetapi harus menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan keuangan yang menggunakan dana rakyat.

Pemerintah Kabupaten Batu Bara, melalui APIP dan pihak terkait, perlu menunjukkan komitmen nyata dalam menyelesaikan kasus ini demi menjaga kepercayaan publik.

Selisih anggaran sebesar Rp.5,3 miliar bukanlah angka kecil, dan dana tersebut seharusnya tidak hanya tercatat dalam laporan, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, khususnya pelaku UMKM. Kasus ini adalah ujian bagi pemerintah daerah setempat untuk menunjukkan integritas dan tanggung jawabnya dalam pengelolaan dana publik." tandasnya. (Boy)

Berita Terkait