Sumut

EFEK PERISTIWA 27 JULI 1996 : KAMI HARUS DITANGKAP

post-img
Foto : Oleh: Aswan Jaya Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumut

LDberita.id - Aku bersama tiga kawan lain Asrul Anwar alias Acun, Kamaluddin Pane alias Malle, Ikhyar Harahap alis Cesper, bukan bagian langsung dari mimbar bebas demokrasi yang digelar berminggu-minggu di Kantor DPP PDI Jalan Diponegoro Jakarta yang digagas oleh kawan-kawan. Saat peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI dan selanjutnya terjadi kerusuhan massa-rakyat di berbagai penjuru Jakarta yang kemudian dikenal dengan Kudeta 27 Juli (Kudatuli), aku bersama tiga kawan lain sedang bertugas (kegiatan-kegiatan revolusioner) di Medan, kami hanya menyaksikan peristiwa itu lewat layar Televisi serta membaca berita-berita diberbagai media massa. Tidak ada peristiwa yang istimewa pada diri kami saat peristiwa itu.

Memang, sebelum peristiwa, setelah penggulingan Megawati sebagai Ketum PDI oleh Soeharto melalui KLB Medan, kekuatan demokrasi menemukan momentumnya, bagi kami, menjadikan penggulingan ini sebagai pintu konsolidasi pro-demokrasi diseluruh Indonesia termasuk di Sumatera Utara untuk sebuah perlawanan runtuhkan rezim otoriter Orde Baru. Kami mengambil bagian aktif dalam konsolidasi tersebut di Medan. Masuk kekantong-kantong PDI, Aku ditugasi masuk kantong PDI di Sunggal, yang lain di Medan Perjuangan dan Medan Timur.

Selain itu, untuk memperkuat barisan pro-demokrasi dan Pro-Mega, kami juga melakukan berbagai pengorganisiran disektor buruh (Jalan Binjai, Belawan dan Tanjung Morawa), pengorganisiran petani di Ramunia. Pengorganisiran ini tentu dilakukan bersama organisasi revolusioner lainnya seperti Forsolima, KSMM, organisasi berbasis kampus dan beberap NGO saat itu. Soeharto tentunya menyadari bahwa konsolidasi pro-demokrasi ini sangat mengancam dan membahayakan keberlangsungan kekuasaannya.

Saat peristiwa Kudatuli meledak, sang dalang kerusuhan, Soeharto dan kroninya pun memutuskan Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai kambing hitam Kudatuli dengan perintah tangkap seluruh aktivis PRD diseluruh pelosok Indonesia, sontak, “keisitimewaan” itu pun kami terima sebagai konsekwensi bagian dari Pimpinan PRD di Sumatera Utara.

Status sosial pun berubah, dari mahasiswa menjadi buronan, rumah-rumah kami digrebek, orang tua dan keluarga diancam, aku dan tiga kawan lain bersama sang ideolog Wigyo alias Wigi alis Fariz pun bergerak, dari Medan – Cikampak – Jakarta – Lampung – Medan selama kurang lebih 3 bulan. Tak lama saat di Jakarta sang ideolog ditangkap, kami kehilangan arah, sehingga kami pun bergerak keluar Jakarta dan Lampung menjadi pilihan untuk melanjutkan aktivitas revolusioner, tetapi tidak banyak yang bisa kami lakukan sehingga diputuskan kembali ke Medan, bersembunyi diberbagai tempat, Amplas Jalan Patumbak menjadi tempat persembunyian pavorit kami. Selanjutnya baca tulisan Wigyo dalam status FB-nya.

Kami Harus Ditangkap

Dalam status buronan semua satuan ABRI saat itu bahkan satuan yang tak resmi tetapi bisa mengambil tindakan apapun atas nama keamanan negara, kami tetap ngeyel, melakukan konsolidasi gerakan dari yang bisa terkonsolidasi. Diantaranya adalah LBH Medan, saat itu Direkturnya adalah AH. Kawan Malle dan Cesper yang ditugasi untuk terus berkomunikasi dengan BA (kami biasa memanggil AH begitu).

Suatu hari, akhir September atau awal Oktober 1996, kami (Aku, Cesper, Malle dan Acun) berkumpul di Amplas, berdasarkan informasi dan saran BA yang disampaikan Cesper dan Malle bahwa kami harus tertangkap. Argumentasinya saat itu, bila terus berkeliaran dan terus bergerak secara diam-diam (gerakan bawah tanah) maka tidak ada kepastian sampai kapan bisa dilakukan dan apakah kami bisa terus bertahan dalam situasi seperti itu, bahkan ada kekhawatiran bisa saja kami ditemukan oleh satuan yang tak resmi, kemudian diambil tindakan yang tak resmi pula kepada kami, ada istilah saat itu di-sukabumi-kan (tembak di tempat). Jujur, saat itu aku khawatir tapi juga tidak begitu yakin sampai sejauh itu konsekwensinya.

Argumentasi lainnya adalah bahwa kami harus ditangkap dengan perkiraan dipenjara dua atau tiga tahun saja - hitung-hitung sekolah saat itu - tetapi akan tetap hidup dan bisa kembali melanjutkan perjuangan tentang apa yang kami yakini saat itu. Argumentasi ini yang menurutku rasional. Selanjutnya, skenario kami harus ditangkap pun disiapkan.

Pagi itu, awal Oktober 1996, aku dan tiga kawan lain memesan sebuah Taksi Metax dari Amplas menuju kantor LBH Medan, langsung turun dan masuk ruang kerja BA. Tidak butuh waktu lama, berbagai kesatuan pun berdatangan untuk terlebih dahulu “mengambil kami”. Ternyata mereka hanya mengenal nama tapi tak kenal rupa, saat BA menyatakan bahwa kami hanyalah tamu dan kliennya saja dan mereka percaya.

Sampai akhirnya datang perwakilan dari Bakortanasda Pak R (waktu itu pangkatnya masih Kapten) bersama Bang H. Kami langsung dibawa ke Jalan Beringin Jaya Gaperta, dua minggu ditahan dengan berbagai pemeriksaan, pertanyaan, tekanan, ancaman dan lain sebagainya, tetapi kami tidak mengalami siksaan fisik sebagaimana yang dialami kawan-kawan yang lain, mungkin hal ini juga bagian dari negosiasi BA. Dugaan kami akan dipenjara pun tidak terjadi, hanya menjadi tahanan kota sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Cukup sampai disini, cerita kelanjutannya pada edisi yang berbeda.

Sekarang, sejak tahun 2019 aku telah menjadi salah satu Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara Bidang Komunikasi Politik, bersyukur karena satu kolektif Bersama Bang AH yang juga wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Utara Bidang Hukum dan HAM. Jadi aku punya kesempatan untuk berdiskusi banyak hal tentang politik tentunya. Pada satu kesempatan, saat kami dalam satu perjalanan menuju Asahan akhir tahun 2020, aku mengajukan satu pertanyaan

“Bang mengapa kami waktu 27 Juli harus ditangkap, apa yang sesungguhnya terjadi” ?  
BA kaget," Untuk apa kau tanyakan lagi itu, dah lama cerita itu”

“Masalahnya aku terganggu, seolah-olah kami menyerahkan diri saat itu, gak enak mengingatnya, abang yang saat itu menyakinkan kami untuk kami harus ditangkap”

Begini itu, BA mulai bercerita, “tidak lama setelah kerusuhan 27 Juli itu, aku mendapatkan pesan dari seorang kawan disalah satu badan rahasia, menyampaikan bahwa kalian berempat masuk dalam daftar yang harus “diselesaikan”, dan aku dihimbau untuk memberitahu keberadaan kalian. Aku berpikir bahwa kalian harus diselamatkan, gak boleh mati, bangsa ini butuh anak muda seperti kalian. Butuh waktu lama aku harus bernegosiasi dengan pihak Bakortanas, waktu itu dengan Letkol MY. Usulku bahwa kalian harus dititip di Bakortanas dan tidak boleh mati. Awalnya pihak Bakortanas menolak karena tidak ingin bersinggungan dengan satuan yang gelap itu.

Singkat cerita, setelah diyakinkan bahwa bangsa ini butuh anak-anak muda ini maka Letkol MY setuju mengambil kami terlebih dahulu dan menahan untuk beberapa saat, hingga dipastikan bahwa perintah mati dianullir.

Itulah mengapa kami, pimpinan PRD di Sumatera Utara pasca kerusuhan 27 Juli harus ditangkap. Bangsa ini butuh anak muda pejuang. BA sesungguhnya Pahlawan untuk nyawa-nyawa kami, untuk berlanjutnya perlawanan kami terhadap Rezim Otoriter Orde Baru. (Jasmi)

Berita Terkait